Skip to content

Latest commit

 

History

History
800 lines (408 loc) · 95.4 KB

index.md

File metadata and controls

800 lines (408 loc) · 95.4 KB
title author
Portofolio
Nurbaiti Fitriyani

Intro

Sekiranya saya perlu memberi sekadar mukadimah singkat sebagai aksesibilitas atas keterbacaan portofolio ini. Pertama adalah perihal konten yang termaktub di dalamnya; kedua adalah ihwal penulisnya; dan ketiga adalah soal riwayat publikasi portofolio tersebut.

Saya mengkategorikan tulisan-tulisan saya sebagai portofolio menjadi empat bagian, yakni esai, resensi, cerpen, dan foto stori. Dalam esai dan foto stori saya menulis menggunakan nama Nurbaiti Fitriyani, sementara pada cerpen dan resensi saya memakai nama Kanya Ahayu Ning Yatika Akasawakya, nama alias saya ketika mengirim karya kreatif ke beberapa media. Sebagian karya yang saya sematkan sebagai portofolio pernah dipublikasikan oleh beberapa media daring dan sebagiannya lagi adalah publikasi independen untuk situsweb yang saya kelola, yakni Selarakta.xyz.

Seluruh konten portofolio ini juga saya unggah di situsweb pribadi saya, Selarakta.xyz. Artinya, portofolio ini adalah bentuk portable document format (PDF) dari sebagian isi konten situsweb saya. Sementara itu, saya juga menyematkan rujukan tautan kanonis untuk tulisan-tulisan yang dimuat beberapa media daring.

Demikianlah, saya berharap portofolio ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkannya.

Penulis,

Nurbaiti Fitriyani

a.k.a. Kanya Ahayu Ning Yatika Akasawakya

Isi Konten

Bla.

Esai

Mark Dice: Menjaring Berita Palsu Lewat Jejaring Media

Oleh Nurbaiti Fitriyani

(Selarakta.xyz, 10 Juli 2020--https://selarakta.xyz/jurnalistik/esai/mark-dice-menjaring-berita-palsu-lewat-jejaring-media)

Sebermula membicarakan tentang pemilihan presiden di Amerika Serikat tahun 2016, Mark Dice dalam buku The True Story of Fake News: How Mainstream Media Manipulates Millions, juga membuka tabir-tabir kegelapan dari media arus utama dalam menyampaikan suatu berita. Dalam mana media-media tersebut telah menyebarkan berita palsu, baik menyunting sebagian kejadian nyata, maupun memanipulisi secara kesuluruhan untuk dijadikan sebagai laporan berita utama. Hal tersebut bertujuan tidak lain hanyalah untuk mendapat keuntungan.

Oleh karena perubahan media, yakni dengan hadirnya internet, ponsel pintar, dan media sosial, Mark Dice juga menyorot media baru seperti Facebook, Youtube, Google, Twitter, Instagram, atau bahkan situs web seperti Wikipedia. Dengan demikian, orang pun tidak hanya mendapatkan berita dari TV, radio, dan koran lagi, tetapi dari berbagai media daring tersebut.

Menurut penelitiannya yang termaktub dalam buku tersebut, sekurangnya 1,4 juta orang yang masih berlangganan televisi kabel di triwulan pertama tahun 2017, sementara itu, lainnya sudah beralih ke media baru. Hal tersebut disebabkan oleh media baru yang bukan lagi dipahami sebagai alat komunikasi, tetapi untuk bertukar informasi, mendapatkan berita, atau apalagi dijadikan untuk berbisnis.

Kendatipun demikian, media baru ini tetap membatasi, menyensor dan/atau memilih informasi mana yang bisa dikonsumsi oleh khalayak, terutama dalam kebersangkutannya dengan dunia politik. Pada kasus tersebut, Mark Dice juga memberi beberapa contoh yang dapat membuka pandangan baru tentang media baru.

Hak Media Baru yang Tersembunyi

Facebook, Google, Twitter, Instagram, dan media baru lainnya, tentulah memiliki hak dan/atau syarat ketentuan bagi pengguna. Namun, selama ini pengguna hanya menyetujui persyaratan tersebut tanpa pernah benar-benar membacanya. Selain itu, alih-alih pengguna merasa puas dengan yang mereka dapatkan, tanpa disadari media baru tersebut telah memilih, menyensor, dan mempublikasikan berita yang bisa dibaca oleh khalayak.

Facebook

Menurut Mark Dice, Facebook yang awalnya merupakan situs jejaring sosial, berubah menjadi perusahaan berita. Dengan demikian, muncullah algoritma untuk menyaring konten yang dikirimkan seseorang. Pun akhirnya, Facebook menjadi ”getkeeper” yang kuat untuk memutuskan cerita mana yang akan mejadi viral atau justru tidak boleh diketahui. Apalagi jika dianggap sebagai sesuatu yang secara politik tidak benar, dengan otomatis artikel yang diunggah terhapus, atau bahkan pemilik akun akan sepenuhnya ditutup.

Jelaslah, Facebook memiliki agenda politik. Ketika menjelang pemilu 2016 di Amerika, banyak orang yang mengandalkan Facebook sebagai agregator berita utama untuk tujuan dapat mempengaruhi pemilu tersebut. Bagi Dice, menjadi kekeliruan yang besar jika pengguna mengira bahwa Facebook tidak terlibat dapat manipulasi berita tersebut, karena memanglah mereka sudah melakukannya.

Lebih pula Facebook telah melakukan sebuah penelitian yang disebut sebagai ”social contagion”. Dalam eksperimen ini Facebook menemukan keberpengaruhan seseroang terhadap lingkungannya untuk tetap memberikan suara atau justru keluar dari pemilu tersebut.

Dalam masalah politik itu, Facebook juga memiliki hak First Amandment yang setara dengan New York Times. Dengan demikian, mereka sepenuhnya bisa memblokir atau justru mempromosikan Donald Trump.

Ujung-ujungnya adalah masalah bisnis. Banyak orang yang mengira bahwa sesuatu yang mereka unggah atau situs berita yang mereka ikuti di Facebook akan tampil dalam beranda mereka, tetapi Facebook secara terbuka mengakui membatasi distribusi posting kecuali pengguna membayar mereka.

Pada dasarnya itulah yang dilakukan Facebook dan raksasa media sosial lainnya. Mereka mengawasi apa yang pengguna poskan dan kemudian menutup halaman pengguna jika mereka merasa ada sesuatu yang terlalu ’menyinggung’ atau melanggar persyaratan layanan mereka.

Twitter

Tidaklah sama dengan Facebook, Twitter tidak memiliki kebijakan menggunakan nama identitas asli pada pengguna, sehingga apa yang dikatakan oleh pengguna tidak bisa dikaitkan dengan identitasnya—siapa mereka, di mana mereka tinggal dan bekerja. Dengan demikian, anonimitas inilah yang mendorong orang untuk mengunggah sebuah cuitan yang paling keji, penuh kebencian, dan mengancam sembari bersembunyi di balik komputer atau ponsel pintar mereka.

Sementara orang dapat mengunggah esai panjang di Facebook, Twitter hanya bisa mengunggah pernyataan singkat yang tidak lebih dari 140 karakter. Dengan demikian, unggahan di Twitter seringkali lebih ’blak-blakan’.

Kendatipun demikian, menurut Mark Dice, Twitter lebih dikenal karena kebermampuannya memasukkan topik yang sedang tren. Dalam bentuk trending box, lazimnya menampilkan 10 topik teratas yang dicuit pengguna. Topik ini biasanya berkisaran tentang selebriti, hiburan olahraga, atau bahkan cuitan yang berisi tentang sebuah skandal. Dari topik yang sedang tren di Twitter ini pulalah akan diangkat oleh media arus utama sebagai bahan yang mereka anggap menarik dijadikan laporan.

Persamaannya dengan Facebook ialah, Twitter bisa saja menghapus sebuah pernyataan yang dicuitkan pengguna jika dirasa menyinggung. Selain itu, di Twitter juga muncul hashtag. Menurut penelitian Mark Dice, orang pertama yang menggunakan tagar di Twitter ialah Presiden Obama.

Sistem tagar tersebut ialah salah satu cara untuk menjadikan sebuah cuitan menjadi tren. Ujung-ujungnya lagi, bukan lain ialah untuk komersialisme. Apabila tagar tersebut disponsori sebuah perusahaan, sudah tentu dan secara otomatis Twitter akan menyertakan emoji khusus pada tagar tersebut.

Akan tetapi Twitter bungkam dalam masalah penyensoran tagar ini. Sementara itu, Instagram justru secara terbuka mengakui bahwa mereka menghapus tagar dan menyensor hasil pencarian tertentu. Mereka mengkalim hanya sebatas ”menyembunyikan konten yang tidak pantas”.

YouTube

Seperti halnya Facebook dan Twitter, YouTube pun memiliki kotak tren yang menampilkan video-video yang paling banyak ditonton pada hari itu. Namun, perlu ditengok lebih jelas lagi, bahwa video-video yang tampil di kotak tren itu sebelumnya telah disensor dan dimanipulasi.

YouTube mengakui bahwa mereka memanipulasi hasil pencarian pada topik tertentu untuk mendukung sebuah video laporan berita dari saluran media arus utama daripada video independen. Mereka melakukan ini untuk menempatkan video yang lebih dapat diandalkan dan dapat dipercaya untuk tampil di bagian atas halaman.

Sebelumnya, video yang paling banyak ditonton atau yang memiliki komentar dan suka paling banyak akan muncul di hasil pencarian teratas, tidak peduli asal-usul video tersebut dari mana. Namun, tidak lagi untuk sekarang, karena YouTube sudah bermain dengan perusahaan media besar sekalipun video mereka nyaris tak dilihat.

YouTube bekerjasama dengan Anti-Defamation League (ADL), juga memiliki hak untuk menyensor konten yang dirasa ”kontroversial”. Saat pengguna menelusuri kata kunci sensitif di YouTube, pengguna akan dialihkan ke daftar putar video YouTube yang terkurasi.

Google

Di balik permukaan sebagai ”mesin telusur”, Google ternyata memiliki agenda politik yang dalam dan luas. Mereka juga memiliki kendali terhadap begitu banyak Internet dan kemampuannya untuk memanipulasi bagaimana miliaran orang melihat dunia.

Kebanyakan orang memperlakukan Google seperti bola ajaib yang mampu menjawab setiap pertanyaan yang pengguna ajukan. Jika ditengok secara harfiah, memanglah senyaman mengklik beberapa tombol, atau bahkan hari ini menggunakan sistem pencarian pengenalan suara Google yang dipercaya mampu ”mengatakan yang sebenarnya”.

Masalah kenyamanan ini, Mark Dice bahkan mengatakan bahwa saat komputer semakin pintar, kebanyakan orang semakin bodoh. Mereka tidak menyimpan begitu banyak informasi seperti dahulu, karena otak mereka tidak memprioritaskan hal itu lagi, tetapi sudah terkonstruksi ”dapat dicari di Google”.

Kendatipun demikian, seperti media-media lainnya, tetaplah Google melakukan manipulasi dan sensor terhadap konten-konten yang ”berbahaya”. Algoritma rahasia Google menentukan laman web mana yang akan ditampilkan dan bagaimana urutannya ketika seseorang mencari sesuatu.

Penelitian Mark Dice yang mengacu pada US News and World Report menyampaikan bahwa, Google, Inc. bukan hanya pemasok informasi, tetapi juga sekaligus merupakan sensor terbesar di dunia. Google telah menciptakan alat sensor terhadap berbagai pemerintah penindas di seluruh dunia yang bertujuan untuk menyembunyikan informasi dari pengguna, tidak peduli seberapa detail pencarian yang mereka lakukan.

Google sendiri bahkan mengakui bahwa mereka memanipulasi hasil pencarian. Mereka menyebut sebagai Metode Pengalihan, yang sudah diterapkan pada tahun 2016 ketika mereka membuat algoritma untuk menunjukkan hasil pencarian para pemimpin Muslim yang mencela ISIS setiap kali seseorang mencari materi terkait ISIS.

Metode tersebut membuktikan bahwa Google secara aktif memanipulasi hasil pencarian dengan harapan dapat mempengaruhi cara orang berpikir dan tindakan yang mereka lakukan atau tidak lakukan sebagai hasil dari pencarian Google mereka. Lebih dari itu, Mark Dice menunjukkan bahwa di tahun 2017, Google meluncurkan alat pemeriksa fakta dengan menyertakan label hasil penelusuran yang menyatakan apakah itu benar atau salah.

Bukan hanya hasil pencarian yang dimanipulasi atau benar-benar disembunyikan, Google juga memanipulasi pencarian suggestions. Ketika pengguna mulai mengetik sesuatu di mesin telusur Google, terdapatlah daftar apa yang menurutnya akan dan/atau ingin dicari pengguna. Mark Dice menoctohkannya dengan ia mengetik ”kapan” di Google. Hanya satu kata, yakni ”kapan”, muncullah pertama, ”Kapan Hari Ibu”; kedua, ”Kapan Hari Ibu Tahun Ini”; ketiga, ”Kapan Paskah”.

Akan tetapi, setelah Mark Dice melihat lebih dekat fitur ”penelusuran yang disarankan” itu, menjadi jelas bahwa sugesti tertentu telah disensor secara teratur sehingga tidak muncul. Google telah mengakui hal itu, bahwa mereka memfilter frasa tertentu dari saran pelengkapan otomatis jika ”berpotensi tidak sesuai”.

Selain itu, terkadang Google juga menyembunyikan hasil topik tertentu hingga tidak ada yang muncul sama sekali. Tak disangka pula, bahwa halaman yang tersembunyi atau tersensor tersebut merupakan keluhan dari DMCA (Digital Millennium Copyright Act)–hukum hak cipta Amerika Serikat yang memberlakukan dua perjanjian World Intellectual Property Organization tahun 1996.

Penyensoran dan pemfilteran hasil pencarian tersebut berlaku berbeda di setiap negara. Jika di Amerika Serikat halaman masih muncul, belum tentu di Eropa juga demikian. Google mengikuti undang-undang yang berlaku di setiap negara.

Masalah yang lebih berbahaya, bagi Mark Dice, bukan saja soal manipulasi dan penyensoran, tetapi justru ketika Google menempatkan informasi pribadi seseorang—tentang rumah atau bahkan nyawa mereka. Google menyimpan log dari semua yang pengguna lantas meletakkan cookie pelacak di komputer pengguna.

Pada akhirnya, komersialisme juga, karena informasi semacam itu akan dijual kepada pengiklan. Dilakukan dengan ’penyamaran’ di Google Chrome sekalipun, tetap tidak bersifat pribadi. Selama bertahun-tahun, bahkan konten email pengguna Gmail dipindai dan dibaca oleh Google agar dapat digunakan untuk menampilkan iklan kepada orang-orang berdasarkan apa yang mereka tulis.

Wikipedia

Di situs Wikipedia ini, Mark Dice menemukan bahwa dua karyawan perusahaan induk Wikipedia (Wikimedia Foundation) di tahun 2012 menjalankan bisnis hubungan masyarakat yang mencakup penyuntingan dan pemantauan halaman Wikipedia klien mereka. Kemudian pada tahun 2015 terungkap bahwa beberapa editor Wikipedia telah menjalankan bisnis blackmail dengan menggunakan kekuatan editorial mereka untuk memungkinkan pencemaran nama baik tokoh masyarakat dan bisnis jika mereka tidak membayar uang perlindungan kepada mereka.

Dengan demikian, di situs Wikipedia ini, terjadilah perang editorial, karena akses yang bebas. Menurut Mark Dice, bahkan hal tersebut terkadang dibuat sebagai sebuah lelucon. Pada akhirnya, Wikipedia adalah ensiklopedia online yang sangat mengerikan. Dengan kemampuan memberikan informasi yang salah kepada begitu banyak orang dengan bias atau informasi yang berbahaya, Wikipedia tidak boleh dianggap sebagai sumber informasi yang dapat diandalkan.

Laporan Bohong yang Mengudara Media Arus Utama

Mark Dice bukan sekadar mengungkap rahasia dari media daring, ia juga membuka sisi gelap dari media arus utama dalam menyampaikan berita. Ia juga memberikan beberapa kasus bagaimana kerja media arus utama dalam melaporkan berita, yang tak lain hanyalah ingin memperoleh keuntungan tanpa memikirkan efeknya.

Bagi Mark Dice, CNN hanyalah media revolusioner dan mengubah seluruh industri berita dengan menyebarkan koresponden secara cepat di mana pun di seluruh dunia dan meliput berita terhangat seperti yang terjadi. Justru ketika mendekati pemilu 2016, CNN semakin tidak masuk akal dalam menyampaikan berita.

Ketika setelah Trump terpilih misalnya, ia memilih My Way dari Frank Sinarta sebagai penampil pertama di Presidential Inaugural Ball. Namun, CNN melaporkan bahwa Nancy, putri Sinarta, kesal karena Trump menggunakan lagu ayahnya. Berita itu berjudul asli, ”Nancy Sinarta Tidak Senang Trump Menggunakan Lagu Ayah saat Pelantikan”.

Nancy pun tak terima diberitakan seperti itu. Ia lantas menanggapi melalui Twitter, bahwa yang dikatakan oleh CNN tidak benar, CNN berbohong. Lantas kemudian, CNN pun merubah judul artikelnya disertai dengan catatan editor bahwa mereka baru saja memperbarui artikel tersebut. Dari kasus ini, Dice menyoroti bahwa Nancy bukan hanya mengatakan tidak benar kepada CNN, tetapi CNN juga berbohong atas artikel tersebut.

Bukan hanya kasus itu saja, masih banyak kasus yang mengungkapkan bahwa CNN telah menyebar berita bohong, bahkan CNN pernah mengeluarkan permintaan maaf secara on-air karena telah meluncurkan berita yang tidak sebenarnya.

Epilog

Ketajaman Mark Dice dalam memperlihatkan sisi gelap media dapat menyibak pendangan orang akan adanya informasi-informasi yang mengalir setiap hari. Secara gamblang ia menuturkan satu demi satu persoalan di balik media.

Apabila boleh diambil semacam kesimpulan, maka terdapatlah, pertama, buku ini mengatakan bahwa berita palsu (fake news) dibuat bukan lain karena sistem kapitalisasi—meraup keuntungan.

Kedua, buku ini ingin menyampaikan bahwa jangan terlalu gumunan, takjub, terhadap media daring maupun situs web yang bisa diandalakan untuk mencari apa saja dengan satu klik itu. Mereka sudah mengatur semuanya, mulai dari manipulasi hingga penyensoran.

Ketiga, mengandung pesan bahwa berhati-hatilah dengan informasi-informasi yang berseliweran di mana-mana, baik di media daring maupun luring. Adakalanya perlu untuk menimbang-ninjau kembali kesahihan di dalamnya. Tentu saja, jangan sampai kepincut atau apalagi sampai terprovokasi dengan berita atau informasi tersebut, karena belum tentu apa yang dilaporkannya benar, bahkan di media arus utama sekalipun.

Media, betapapun kepopularitasan yang dimiliki, ternyata masih memiliki celah dalam meluncurkan berita yang tak semestinya dan/atau yang sebenarnya. Media tak punya dispensasi apa-apa. Ia tetaplah hanya dijalankan manusia.

Hilangnya Satir Antara Penonton dan Pemain

Oleh Nurbaiti Fitriyani

(Selarakta.xyz, 23 September 2019--https://selarakta.xyz/jurnalistik/esai/hilangnya-satir-antara-penonton-dan-pemain)

Menonton “Sinopsis TIM 2019+” yang dibawakan oleh teater Lab Teater Ciputat pada tanggal 9 Juli 2019 lalu di Graha Bhakti Budaya, menyuguhkan pengalaman menonton yang sangat berbeda. Setelah melakukan registrasi tiket, pengunjung digiring untuk berbaris sesuai dengan domisili mereka masing-masing. Hal tersebut dilakukan karena mereka mengusung tema bertajuk kunjungan di museum, jadi penonton yang direka pengunjung museum diharap tertib.

Sewaktu masuk ke gedung pertunjukan itu sendiri, tepatnya di pintu masuk gedung Graha Bhakti Budaya hingga lorong-lorong menuju panggung pertunjukan, penonton disambut oleh sejumlah pemain dengan karakternya masing-masing. Selain para karakter itu, juga disajikan benda-benda yang menyangkut perjalanan Ismail Marzuki, antara lain: mesin tik, arsip, foto-foto tempo dulu, koran, patung, lukisan dan benda-benda yang turut serta mengiringi perjalanan Ismail Marzuki.

Desain interior mulai lorong tersebut sampai di panggung pertunjukan amatlah dingin dan kaku. Penonton digiring dan diajak terlebih dahulu mengitari museum sebelum masuk ke tempat pertunjukan. Tepat ketika mereka di atas panggung, serasa bahwa antara penonton yang menjadi pengunjung merupakan pemain pertunjukan itu sendiri.

Suasana tersebut benar-benar meniadakan jarak antara penonton dan pemain teater. Mereka menjadi satu tanpa adanya satir. Panggung teater yang selama ini kita kenal, di mana penonton duduk di kursi yang di atur sedemikian rupa di konstruksi menghadap ke panggung, di dobrak oleh kelompok teater tersebut. Penonton diajak ikut serta menjadi pemain.

Dunia Milenial

Kekhasan para milineal salah satunya ialah tak bisa terlepas dari gawai. Tepat di atas panggung, bersama para penonton, pemain megajak bersua foto untuk diunggah di sosial media. Tak lupa juga, para milenial ini memamerkan kata-kata “mutiara”-nya yakni, 'jangan lupa like, ya!‘, 'asiap!’, ‘wadidaw!’, 'hai, gaes, jangan lupa live!', hingga 'lope-lope bertebaran di awan’. Semua itu diucapkan tanpa beban sembari mereka bergaya riang-gembira di depan gawai masing-masing.

Setelah megajak penonton berinteraksi dengan cara demikian, mereka menampilkan dance dengan gaya milineal tersebut. Di sini, para pemain tidak terpaku di atas panggung saja, melainkan mereka semua menyebar: ada yang di depan duduk para penonton, di panggung itu sendiri, dan di bawah panggung. Mereka berjoget sembari memberitahu penonton bahwa milineal memang tak bisa terlepas dari gawai dan sosial media. Hal tersebut selain sebagai hiburan, juga lebih tepatnya untuk mencari eksistensialisme.

Jika dilihat dari apa yang mereka tampilkan dan ritme musik yang mengiringi, bisa diinterpretasi bahwa kehidupan kaum milenial begitu dinamis, cepat, dan serba instan. Mereka tidak mau kalau hidup dibawa ribet dan menyusahkan. Akan tetapi, dari situ terdapat adanya ketidakaslian dalam menjalani hidup, karena mereka tidak menjadi atau tampil di sosial media tidak sebagaimana adanya.

Dance yang ditampilkan para milenial usai, tiba-tiba muncul di atas panggung seorang pemain dengan karakter yang membosankan, membawa koper, memiliki kehidupan lambat, dan tidak dinamis. Kemudian karakter-karakter ini diikuti oleh karakter lain dengan peran yang sama. Hingga akhirnya, ada satu pemain yang keluar terakhir, dia tanpa membawa koper, namun membawa busur.

Dikerubuni para kaum milenial yang tak ketinggalan gawai di tangan mereka, karakter yang membawa busur tersebut seolah-olah berorasi. Ia mengatakan bahwa ia tak mengenal tahun 2019, yang dipenuhi oleh para milenial. Ia hanya mengetahui bahwa hidup di masa Budi Oetomo. Orasi yang disampaikan perihal ia tak mengenal kaum milenial dan tak menyukai arus itu, tiba-tiba ada satu karakter masuk. Ia bernama Tingker.

Tingker yang barasal dari arus yang sama seperti karakter yang membawa busur, justru tidak setuju dengan pendapat mengenai tak mengenal milineal. Tingker justru ingin maju dan berkembang layaknya kaum milenial.

Pura-Pura Berakhir

Perdebatan antara apakah mereka akan mengikuti milineal atau tetap dengan generasinya, tidak terjawab. Akan tetapi sebagian dari generasi dahulu itu menginginkan hidup layaknyanya kaum milineal. Mereka bosan dengan kehidupan mereka yang lambat dan itu-itu saja.

Tiba-tiba, setelah perdebatan itu mendadak pertunjukan selesai para pemain keluar gedung pertunjukan kemudian disajikan dokumentasi para pengunjung atau penonton ketika awal registrasi tiket hingga masuk ke gedung pertunjukan. Di sini penonton terkejut, agak kesal barangkali lebih tepatnya. Sebab ending yang secara mendadak dan tiba-tiba itu, cerita mereka baru sampai pada babak tengah dan belum ada tanda-tanda klimaks sama sekali.

Mau tidak mau, penonton beranjak dari kursi dan keluar dari gedung pertunjukan. Saat keluar inilah, justru terdapat surprise. Para pemain berbaris di pintu keluar menyambut para penonton yang mereka anggap sebagai pengunjung museum. Mereka mengucapkan terimakasih atas kunjungan penonton ke museum mereka. Mereka menyebut dengan “Museum yang Hilang”.

Hal tersebut merupakan suatu kejutan yang sama sekali tak diduga oleh penonton. Kejutan diberikan lagi kepada penonton saat keluar ke luar dari gedung Graha Bhakti Budaya. Di depan gedung, para pemain menyulap dirinya dengan karakter yang berbeda-beda. Hanya yang berperan sebagai kaum milenial yang tak berubah. Mereka menjelma karakter-karakter yang memerankan berbagai profesi, antara lain: barista, muslimah bercadar, dokter, tukang jamu, fotografer, pendaki, pemain skateboard, satpam, pemadam kebakaran, koki, dan pengasuh bayi.

Sementara para pemain itu berjalan di atas catwalk layaknya para model, kaum milenial sibuk dengan gawai mereka masing-masing untuk mengabadikan momen bersama para pemain-pemain itu. Para penonton dibiarkan mebaur dengan mereka dan tanpa ada jarak sama sekali. Penonton benar-benar dibebaskan, tidak terikat.

Satir yang Hilang

Kelompok teater ini berani mengusung konsep dengan menghilangkan jarak antara pemain dan penonton. Konsep yang benar-benar baru dalam menampilkan teater. Apalagi, setelah kedatang medium baru yakni, film, peminat teater berkurang begitu drastis.

Biasanya penonton hanya duduk menikmati cerita, dengan penoton dilibatkan langsung untuk menjadi pemain sekaligus, bisa menjadi alternatif untuk membuat suasana tidak membosankan. Ketiadaan jarak antara penonton dan pemain ini, juga merupakan salah satu cara untuk menarik penonton untun menonton teater kembali.

Akan tetapi, meskipun demikian, dengan penonton diikut-sertakan menjadi pemain, penonton tidak fokus dengan apa yang sedang ditonton. Penonton bisa merasa terganggu dan justru tidak memperoleh kesenangan dalam menonton. Karena pengalaman orang menonton sangat berbeda-beda.

Perjuangan Cinta Rahwana

Oleh Nurbaiti Fitriyani

(Selarakta.xyz, 23 September 2019--https://selarakta.xyz/jurnalistik/esai/perjuangan-cinta-rahwana)

Sebagai tokoh dalam wayang, Rahwana dikenal sebagai makhluk dasamuka, yakni manusia bermuka sepuluh dengan penuh angkara murka. Kendatipun demikian, ternyata sosok ini memiliki kutulusan hati yang tidak banyak orang ketahui. Perjuangan cintanya yang begitu besar, membuatnya tampak menjadi sosok yang begitu agung.

Dalam pertunjukan bertajuk The Great Rahwana, Rudolf Puspa sebagai sutradara mengemas kisah pewayangan ini dengan gaya a la milenial. Pementasan yang digelar di Ciputra Artpreneur, 21-22 September 2019 tersebut, mengusung genre drama musikal. Pertunjukan ini mengadaptasi dari sebuah novel berjudul “Rahwana Putih” karya Sri Teddy Rusdy.

Dolfry Inda Suri dan Aldiansyah Azura sebagai scriptwriter, menafsirkan novel tersebut dengan sudut pandang yang berbeda. Ketika membaca kisah Rahwana dari novel tersebut, mereka menemukan sisi-sisi baik sosok wayang ini yang tak diketahui kebanyakan orang, yakni kemuliaan hati dan kisah perjuangan dalam hal cinta.

Bersama Rudolf Puspa, akhirnya mereka mengisahkan pewayangan tersebut ke dalam drama musikal. Para pemain drama musikal ini rata-rata berasal dari generasi milenial. Tepat pada hari Sabtu, 21 September 2019, pemain berasal dari “Candrasa”.

Mereka menyelimuti kisah pewayangan ini dengan renyah, ringan, dan tentunya tidak membosankan. Namun, meskipun begitu, filosofi yang terkandung dalam kisah pewayangan ini tidak hilang.

Pewayangan Kekinian

Kisah pewayangan Rahwana, Erik Lasmono sebagai pemeran dalam pementasan ini menyuguhkan sebuah kisah yang segar dan kekinian. Dengan kekhasan generasi milenial, menjadikan pertunjukan ini tampak ringan dan tidak mejenuhkan.

Di atas panggung sudah terdapat berderet-deret pemain berkostum warna putih. Di tengah-tengah mereka terdapat dua orang, laki-laki dan perempuan, yakni Rama (Bayu Permana) dan Sinta (Nadine Adyla).

Kecuali mereka berdua, pemain yang mengenakan kostum berwarna putih menari dan menyanyi. Selain di panggung, ada pula para penari dan penyanyi ini yang mengelilingi penonton. Kehadiran mereka di tengah-tengah penonton membuat suasana tidak tegang. Di belakang mereka menari, di atas panggung, terdapat sebuah ilustrasi bergerak menampilkan sebuah hutan. Menunjukkan bahwa adegan bermula di sebuah hutan.

Mereka inilah yang membuat pertunjukan tiga jam seperti tak berasa. Selain itu, kemunculan celoteh-celoteh dan aksi dayang-dayang dari lingkungan Rahwana yang memimpin kerajaan Alengkadiraja berhasil membuat penonton selalu tertawa.

Ada empat dayang yang paling khas. Pertama, Mbok Emban Laylay (Maria Jessica), berperan sebagai dayang dengan gaya dan omongannya yang berlebihan dan terkadang disertai dengan latah.

Kedua, Mbok Emban Tilil (Erica Apriliani), ia sebagai dayang dengan kekhasan bergoyang. Sedang berbicara pun seluruh badannya bergoyang. Ketiga, Mbok Emban Mboy (Shearly Aurelia), memerankan dayang yang tomboy. Terakhir, Mbok Emban Cumut (Tazkia Mekha), memainkan dayang yang telat mikir, lugu, dan pura-pura tampak imut.

Sutradara membiarkan para milenial ini berceloteh sesuai kata hatinya. Tidak seratus persen yang mereka tunjukan di atas panggung ialah arahan dari sutradara. Hal ini diakui oleh Rudolf Puspa pada hari Sabtu kemarin.

"Tujuh puluh persen yang keluar dari mereka (para milineal) ialah berasal dari hati dan pikiran mereka sendiri. Script tetap ada, tetapi itu hanya sebatas pemanggungan saja, selebihnya tidak. Jadi, itu memang murni dari mereka sendiri," tutur Rudolf Puspa sembari mendekap bingkisan bungan dari penggemarnya.

Selain sebagai pembawaan kisah wayang yang kekinian, sutradara juga ingin menyampaikan kepada generasi muda bahwa Rahwana tidak seburuk dalam kisah pewayangan yang diketahui selama ini.

Mengusung generasi milineal, sutradara juga ingin mengungkapkan bahwa manusia tidak seburuk itu. bahwasanya pula, Sinta yang tidak pernah mencintai Rahwana, pada akhirnya ia menghormati betapa Rahwana mencintainya sampai Rahwana rela mati demi Sinta.

Rudolf juga mengatakan bahwa, adegan di mana Sinta yang menghormati saat kematian Rahwana, sebenarnya tidak ada di dalam novel. Namun, sutradra dan scriptwriter mengkreasikan adegan tersebut. Hal tersebut bertujuan untuk menunjukkan kepada generasi muda bahwa sejahat dan sebenci apapun manusia, mereka tetap memiliki hati nurani.

Keagungan Rahwana

Setelah membuka pertunjukan kali pertama, para pnari dan penyanyi meninggalkan Sinta dan Rama. Mereka berada di Hutan Dadakan. Ketika Sinta melihat seekor kijang sedang melintas—lewat ilustrasi dimonitor, Sinta meminta kijang itu kepada Rama.

Dengan berat hati, karena Rama tak bisa menolak permintaan Sinta, akhirnya Rama pun memburu kijang tersebut. Sebelum meninggalkan Sinta, Rama meminta kepada Lesamana (Rizky Andri) untuk menjaga Sinta. Tak lama kemudian, terdengar suara teriakan. Sinta pun panik.

Sinta meminta kepada Lesmana untuk mengejar Rama. Dengan berat hati pula, sebelum akhirnya Lesmana meniggalkan Sinta di tengah hutan seorang diri, ia melindungi Sinta dengan rajah ‘Kalacakra’.

Di sinilah awal mula Rahwana muncul. Kali pertama ia tampil mendekati Sinta, ia menyamar sebagai seorang lelaki tua yang membutuhkan belas kasihan. Di sini ia terkesan seperti Rahwana yang termasyhur, yakni buruk hati.

Oleh karena Lesmana mewanti-wanti Sinta untuk tidak keluar dari lingkaran rajah tersebut, Sinta tidak bisa menolong. Hanya memiliki gelang yang melingkar di tangan, Sinta pun menyerahkan harta satu-satunya itu kepada Rahwana. Namun, ketika Sinta mengulurkan gelang itu, tetiba ia menggeret tangannya sehingga Sinta keluar dari lingkaran Rajah. Ia pun tertawa terbahak-bahak.

Rahwana behasil membawa Sinta ke kerajaannya. Di sana, ia meminta kepada dayang-dayangnya untuk memperlakukan Sinta seperti permaisurinya. Ia bahkan meminta Trijata (Amadea Qureta) untuk selalu menemani Sinta.

Rahwana melakukan segala upaya untuk membahagiakan Sinta dan supaya Sinta mau menerima cintanya. Namun, Sinta tak pernah goyah dengan pendiriannya bahwa cintanya hanya kepada Rama.

Berulang kali Sinta menolak cinta Rahwana, tetapi berungkali pula Rahwana menunujukkan ketulusan cintanya. Hingga pada akhirnya, Anoman (Ridho Hafiedz) datang ke kerajaan Alengkadiraja untuk menyampaikan pesan perdamaian dari Rama yang memimpin Kerajaan Ayodya dengan syarat menyerahkan Sinta.

Rahwana menolak, tetapi Wibisana (Michael Limantoro) menasehati untuk berdamai dengan kerajaan Ayodya dengan syarat tersebut. Menurut Wibasana, dengan Rahwana membebaskan Sinta, maka ia memiliki kebiksanaan di mata Sinta, tetapi ia tetap ingin melawan Rama.

Sebelum akhirnya Wibisana meninggalkannya, Rahwana mencegah. Ia telah mempertimbangkan nasehat dari Wibisana. Akhirnya ia memutuskan tetap berperang dengan syarat Wibisana memberitahu pihak Ayodya titik kelemahannya.

Perang pun terlaksana. Di dalam peperangan itu seluruh balatentara dari Alengkadiraja mati terbunuh. Ketika tiba giliran Rahwana mulai menyerang, ia pun mati di tangan Rama lewat panahnya.

Ketika Rahwana telah mati terbunuh, betapa Sinta sangat terharu akan perjuangan atas cintanya. Di depan Rahwana yang tak bernyawa lagi, Sinta mengucap terimakasih yang tiada hentinya.

Di sinilah letak bagaimana Rahwana memperjuangkan cintanya. Meski seribu kali mendapat penolakan, tetapi ia tiada pernah menyerah. Kematian Rahwana ini bukanlah kematian atas kekalahan dalam melawan musuh, melainkan sebuah kemuliaan terhadap cintanya kepada Sinta yang begitu tulus.

Xu Bing: Peradaban di Museum Macan

Oleh Nurbaiti Fitriyani

(Selarakta.xyz, 17 September 2019--https://selarakta.xyz/jurnalistik/esai/xu-bing-peradaban-di-museum-macan)

Sebuah pameran yang diselenggarakan di Museum Macan (Modern and Contemporary Art in Nusantara) 31 Agustus – 12 Januari 2019 ini, menyampaikan sebuah peradaban hubungan antara manusia dengan sekitar. Mulai dari tradisional hingga modern, baik lewat komunikasi dan bahasa, pengetahuan, perilaku manusia, muapun investigasi terhadap kontak persilangan budaya dan globalisasi.

Kelahiran Tiongkok 1955, Xu Bing, memiliki sisi kehidupan yang bukan hanya berasal dari tradisinya semata. Ia tumbuh di Beijing dan New York. Karya-karyanya lahir dari lingkungan kehidupannya tersebut. Dengan tajuk “Xu Bing: Thought and Method” Xu Bing menampilkan keryanya meliputi karya grafis, gambar, instalasi dan film yang diciptakan dalam kurun waktu lebih dari 40 tahun, sejak 1980-an.

Xu Bing memproduksi karya-karya yang memiliki ikatan erat dengan konteks sosial dan budayanya. Ia menginspirasi penonton untuk merefleksikan diri terhadap lingkungan sekitar. Selain itu, ia juga mengajak para pengunjung untuk terlibat langsung dalam pembuatan sebuah karya.

Alat Pembuatan Karya Xu Bing Untuk Pengunjung (SELARAKTA/NURBAITI FITRIYANI)

Proses kreatif dan bahan-bahan ketika membuat karya, ia letakkan di atas meja untuk para pengunjung yang ingin mencoba membuat ‘kesenian’. Bahan-bahan tersebut sebagian berasal dari alam, antara lain: serabut, kulit jagung yang sudah kering, dedaunan, kantong plastik, jaring, lakban, dan gunting. Pengunjung bebas berkreasi sesuai dengan imajinasi masing-masing.

Selain Xu Bing, ada pula seniman asal Malaysia yakni, Shooshie Sulaiman. Ia menyampaikan sebuah peradaban melalui karyanya yang berjudul "Main Getah (Rubberscape)".

Biji Karet (SELARAKTA/NURBAITI FITRIYANI)

Alam dan Seni

Di tengah-tengah kecanggihan teknologi, ada sebuah keterlibatan alam dalam karya seni Xu Bing dan Shoosie. Mereka memadukan benda-benda yang berasal dari alam dengan sebuah teknologi. Dengan demikian, karya-karya tersebut merepresentasikan peradaban umat manusia, dari sebelum mengenal teknologi hingga ketika teknologi tersebut menjadi bagian dari kehidupan mereka.

Shooshie Sulaiman, dalam karyanya berjudul "Main Getah (Rubberscape)" tersebut, menghadirkan biji karet beserta pohonnya. Dari pohon itu ternyata bisa menghasilkan berbagai macam produk. Selain itu, dalam pameran karya tersebut, Shooshie mengajak pengunjung untuk merasakan dekat dengan alam.

Ketika pengunjung hendak memasuki ruang pameran karya Shoosie, terlebih dahulu pengawas pameran meminta pengunjung untuk melepas alas kaki lalu kemudian membaca tata tertib dalam ruang pameran tersebut. Di ruang itu ada berbagai jenis permainan tradisional yang berbahan dasar dari pohon karet.

Sesuai dengan judulnya "Main Getah (Rubberscape)", ada beragam jenis permainan. Ada adu biji karet, permainan menyusun gelang karet berwarna, permainan congklak dengan biji karet dan pohon karet, hingga membuat karakter dengan setmpel dari karet.

Congklak dari Pohon Karet dan Biji Karet (SELARAKTA/NURBAITI FITRIYANI)

Pengunjung dipersilakan untuk memainkan benda-benda yang disediakan di pameran itu. Dilengkapi dengan suara yang khas di perkebunan karet, membuat pengunjung merasakan memorabili masa kanak-kanak dengan permainan yang masih tradisional. Dengan demikian, pameran tersebut mengakrabkan pengunjung dengan alam melalui kesenian.

Sementara itu, Xu Bing melibatkan alam sebagai karya seninya dengan menggunakan ulat sutra dan buku dan VCR (Video Caset Recorder). Ia memberi judul karya tersebut American Silkworm Series. Ia menampilkan ulat-ulat sutra, karena hewan yang satu ini memiliki sifat alami yang berubah-ubah, bisa menjadi ulat, kepompong, lalu lahirlah kupu-kupu.

Di pameran tersebut, pengunjung melihat langsung bagaimana ulat-ulat tersebut memintal sutra sehingga menutupi buku dan komputer jinjing. Di sisi lain, ada pula ulat sutra yang memintal kepompong di dalam VCR.

Kepompong di VCR (SELARAKTA/NURBAITI FITRIYANI)

Buku, komputer jinjing, dan VCR merupakan sejarah perdaban kebudayaan manusia. Benda-benda tersebut digunakan sebagai simbol bahwa hewan yang tak memiliki akal, tidak memedulikan hal tersebut ketika mereka sedang bereproduksi.

Sebelum melakukan pameran tersebut, Xu Bing salah perhitungan. Ulat bulu yang hendak ia jadikan sebagai objek keseniannya, ternyata masih dalam tahap mencari makan, belum siap untuk bereproduksi. Akhirnya, disediakan pohon murbei. Xu Bing meletakkan ulat-ulat tersebut di pohon murbei hingga dedaunannya tak bersisa sama sekali. Hanya meninggalkan batang-batang murbei. Di sanalah awal mula ulat sutra itu memintal kepompong dan sutra. Mulai ulat-ulat makan dedaunan murbei sampai daunnya tak bersisa sama sekali, Xu Bing mengabadikan melalui karya dalam bentuk grafis.

Daun Murbei Sebelum di Makan Ulat (SELARAKTA/NURBAITI FITRIYANI)

Daun Murbei Habis di Makan Ulat (SELARAKTA/NURBAITI FITRIYANI)

Melihat dua karya tersebut, menandakan bahwa alam dan seni meiliki keterkaitan sangat erat dan saling mempengaruhi.

Ruang Kontradiksi

Lewat karyanya berjudul "Studi Kasus Pemindahan (A Case Study of Transference)", Xu Bing merefleksian bahwa manusia merupakan makhluk yang beradab. Dalam karya ini ia melibatkan 2 ekor babi, jantan dan betina. Ia juga menghadirkan manusia untuk menyaksikan dua ekor babi itu melangsungkan perkawinan.

Sementara babi yang sedang kawin ditampilkan melalui sebuah video, Xu Bing membuat alas kandang babi beralas jerami dan tumpukan buku. Di dalam video itu diperlihatkan orang-orang yang sedang menyaksikan babi yang sedang kawin.

Xu Bing ingin menguji kedua hewan tersebut memiliki kecanggungan atau tidak ketika sedang kawin di depan banyak orang. Namun, ternyata sebaliknya. Justru manusia yang menyaksikan babi itu kawin merasa risih, canggung, dan gelisah sendiri. Kedua babi itu pun bahkan tak memedulikan bahwa kandangnya beralas buku-buku.

Kedua binatang itu tak mengerti bahwa yang mereka injak-injak ialah buku. Mereka melakukan kawin tanpa ada rasa canggung atau pun gelisah sama sekali. Kedua binatang itu bahkan menikmati. Mereka tidak menghiraukan orang-orang yang menyaksikan mereka kawin.

Kandang Babi (SELARAKTA/NURBAITI FITRIYANI)

Dalam karya Xu Bing ini, mereprsentasikan bahwa hewan dan manusia berbeda. Hewan merupakan makhluk yang tidak dibekali akal pikiran, sedangkan manusia memiliki akal pikiran. Oleh karena itu, ketika kedua ekor babi itu sedang kawin, mereka biasa-biasa saja dan tidak terganggu dengan kehadiran banyak orang yang menyaksikan. Sebaliknya, justru orang yang melihat babi jantan mengawini babi betina dengan begitu bergairah, mereka merasa risih sendiri.

Menggunakan medium buku sebagai alas kandang dua ekor babi yang sedang kawin tersebut, menunjukkan bahwa babi tidak memiliki peradaban kebudayaan. Mereka tidak mengerti bahwa yang mereka injak-injak ketika sedang kawin itu buku, sumber segala pengetahuan.

Karya ini bertjuan menampilkan sebuah ruang kontradiksi. Di saat orang-orang bisa mengamati perilaku alami dua ekor babi, mereka merasakan timbulnya rasa malu terhadap sebuah peradaban yang bersifat primitif (nf).

Mencecap Musik Tradisi

Oleh Nurbaiti Fitriyani

(Selarakta.xyz, 14 September 2019--https://selarakta.xyz/jurnalistik/esai/mencecap-musik-tradisi)

Tak hanya mencecap suara indah nun menghanyutkan, tetapi melalui alat-alat musik tradisi pengunjung juga bisa mencicip kedamaian dan kemistikan.

Dewan Kesenian Jakarta mengadakan pagelaran musik tradisi “Etno Musik” bertempat di Taman Ismail Marzuki, 8-12 September 2019. Pameran dan/atau pertunjukan alat musik tradisi itu, tidak hanya mendatangkan pemusik dari Indonesia, tapi juga dari negara lain.

Menggelar pertunjukan tersebut di dua tempat yakni, di teras gedung Graha Bakti Budaya (GBB) dan di dalam gedung. Tepat ketika hari Kamis, 12 September kemarin, pertunjukan itu menghadirkan pemusik dari Papua, Sumedang (Rancakalong), Sulawesi Tengah, dan Cina.

Di teras GBB, pemusik dari Papua memainkan alat-alat musik tradisi khas papua, salah satunya ada yang bernama TFU. Alat musik ini berwarna putih bentuknya menyerupai karang. Alat tersebut dimainkan dengan meniup. Pemusik dari Papua bernama Dijiro dan Tifa.

Sementara itu, di dalam gedung GBB sendiri menampilkan dari Sumedang, Sulawesi Tengah, dan Cina. Pemusik dari Sumedang, Rancakalong, Jawa Barat, menampilkan Tarawangsa. Mereka berasal dari Sanggar Seni Sunda Lugina. Alat musik tradisi yang digunakan ialah jentreng yang berbentuk kecapi dua senar dan alat musik gesek dua senar yang dimainkan secara rebab.

Pemusik dari Sulawesi Tengah yang disebut dengan Vae dan Tindua merupakan sebuah musik yang digunakan sebagai ritual Suku Kaili. Selain itu juga ada yang berasal dari Cina yakni, musik tradisi dawai “HU” (Erhu dan Banhu). Erhu merupakan alat musik tradisi berbentuk biola vertikal dengan dua senar, sedangkan Banhu juga memiliki dua senar untuk mengaitkan busurnya di antara dua senar tersebut.

Nuansa Kedamaian

Di tengah desas-desus kerusuhan antara mahasiswa Papua dan Malang, justru pemusik Papua memberikan kedamaian. Pementasan yang digelar di Teras GBB menyalurkan energi positif kepada para pengunjung. Tidak ada yang tidak menikmati musik yang mereka bawakan. Semua pengunjung bahkan sangat antusias.

Nuansa kedamaian mewujud bersama dengan musik yang mengiringi. Bebunyian dari alat musik mampu menyihir pengunjung. Misalnya saja, anak-anak berusia sekitar lima sampai enam tahun sangat terpukau dengan penampilan mereka. Berada di barisan paling depan, pandangan anak-anak itu tak bisa berpaling.

Sementara itu, orang dewasa yang tak bisa jauh dari ponsel pintarnya, mengabadikan pertunjukan musik tradisi Papua dari awal di mulai hingga selesai. Sembari merekam pementasan musik tradisi itu, mereka juga berjoget sesuai dengan ketukan alat musik.

Berada di luar ruangan, pemusik Papua memberi ruang kebebasan bagi pengunjung untuk ikut membaur tanpa ada jarak. Dari sinilah muncul bahwa makhluk datu dengan lainnya tidak dibedakan hanya dengan lewat suku, ras, atau bahkan warna kulit.

Memanggil Roh

Ruangan yang gelap, setitik cahaya hanya menyinari panggung, menghadirkan rasa khidmat. Alih-alih sebagai hiburan dan menambah wawasan, pertunjukan itu justru memberi kesan mistis.

Memainkan Erhu dan Banhu, pemusik dari Cina membuka pertunjukan dengan nuansa horor. Banhu sendiri biasanya digunakan untuk mengiringi opera rakyat di bagian utara negara Cina. Selain instrumen yang dimainkan mampu membuat berdiri bulu kuduk, di atas panggung diberi efek semburan asap sehingga menimbulkan rasa mistik.

Kemistikan tersebut, ditambah dengan instrumen-instrumen yang dihadirkan selanjutnya dan apalagi ketika musik Tarawangsa dimainkan. Pada waktu Tarawangsa hadir, aroma bakaran kemenyan menyeruak di seluruh ruangan pertunjukan. Dupa tersebut digunakan seperti untuk memanggil nenek moyang.

Menurut cerita rakyat, asal-usul Tarawangsa dimulai pada masa kekuasaan Mataram (1550). Pada waktu itu Rancakalong sedang mangalami bencana kelaparan yang disebabkan oleh gagal panen. Mereka meyakini bahwa masyarakat sudah lupa akan tata tertib memuliakan Dewi Sri (Dewi Padi). Akhirnya atas kesepakatan penduduk setempat, dikirimlah seseorang datang ke Mataram untuk mengambil bibit padi.

Setelah panen berhasil, kesenian Tarawangsa hidup dan berkembang di Rancakalong. Mereka pun menjadikan sebagai upacara syukuran kepada Dewi Sri.

Dalam memainkan Tarawangsa, malam itu ada empat orang. Dua orang bermain musik, satu orang membaca doa dan/atau mantra berhadapan dengan dupa, dan satunya lagi sebagai penari dengan membawa keris.

Hal yang paling mistis dari Tarawangsa ialah ketika sampai pada pembacaan doa. Sembari memutar-mutar dupa, pemain terus mengucap mantra. Selain itu, juga ditambah dengan efek semburan asap dan panggung berwarna jingga kemerahan. Antara asap dupa dan efek asap panggung sehingga membaur menjadi satu menyelimuti ruang pertunjukan.

Yang terakhir ialah pemusik dari Sulawesi Tengah yang menampilkan Vae dan Tindua. Vae sendiri merupakan sebuah nyanyian dalam tradisi Kaili yang menandakan kegembiraan pada saat ritual upaca panen. Sedangkan Tindua, selain sebagai ritual ucapan syukur ketika panen, ia juga berfungsi sebagai ritual penyembuhan.

Bukan hanya alat musik yang dimainkan, Vae dan Tinduan juga menampilkan mantra-mantra yang berbentuk seperti syair. Mereka melantukannya dengan nada yang membuat suasana menjadi khidmat dan sangat hening.

Kecuali pemusik dari Papua yang ditampilkan dengan sangat energik dan memberi suasana kedamaian, ketiga musik yakni dari Cina, Rancakalong, dan Sulawesi Tengah, kendati dibawakan secara energik, tapi menimbulkan kesan mistik.

Dalam pertunjukan malam itu, pengunjung tidak hanya mencecap musik tradisi dengan bunyi, nada, dan cara memainkan yang berbeda-beda, tapi juga menikmati suasana yang takzim.

Melalui instrumen-instrumen tersebut, pengunjung juga merasakan hadirnya roh-roh yang diyakini pemusik-pemusik itu. kendatipun tidak dapat melihat secara nyata, tetapi kehadiran nenek-moyang dapat dirasai melalui gesekan dan ketukan alat musik tradisi sekaligus ucapan mantra yang disuguhkan para pemusik. Hingga pada akhirnya kehadiran tersebut terasa ketika penonton diminta untuk ikut serta mengucapkan mantra tersebut.

Spiderman Far From Home: Kewujudan Ilusi di dalam Sebuah Ilusi

Oleh Nurbaiti Fitriyani

(Selarakta.xyz, 11 Juli 2019--https://selarakta.xyz/sinema/esai/spiderman-far-from-home-kewujudan-ilusi-di-dalam-sebuah-ilusi)

Sejak awal munculnya sebuah teknologi, hingga sekarang ia berkembang begitu pesat dan begitu canggih, ia terus menarik penonton untuk terkagum-kagum. Sebab dari pengalaman mesin tersebutlah bisa menjual dan mempromosikan sebuah ilusi. Di dalam medium audio-visual, film, ilusi ini dapat menghasilkan imajinasi, fantasi, atau hanya sekadar identifikasi. Film Spiderman Far From Home ini, membalut superhero-superheronya dengan ilusi dari teknologi yang canggih tersebut.

Spiderman, seorang manusia biasa yang bernama Peter Parker yang diperankan oleh Tom Holland. Ia baru berusia enam belas tahun. Diusianya yang masih muda, ia mendapat kekuatan super yakni, bisa berubah menjadi seperti seekor laba-laba. Kekuatan yang dimilikinya ini, justru membuatnya menghadapi dilema moral: antara cinta dan humanisme. Di satu sisi ia ingin menyelamatkan manusia, karena merupakan tanggung jawabnya, namun, di sisi lain ia juga ingin merasakan cinta.

Seperti yang tertera dalam judulnya yakni, Spiderman Far From Home, Peter Parker memang tidak melakukan aksinya di rumah atau di sekolah, melainkan di berbagai negara antara lain: Italia, Prancis, Berlin, Belanda, dan yang terakhir di London.

Setiap tempat, Parker mengalami rasa dan menghadapi peristiwa secara berbeda. Mulanya di pesawat terbang masih tertarik, hingga di Italia ia benar-benar ingin memiliki gadis tersebut hingga dibelikan kalung. Dan pada akhirnya berencana di Paris untuk mengungkapkan perasaannya. Namun, itu semua tak berjalan seperti yang direncanakannya. Ia harus melewati berbagai rintangan untuk menyelamatkan manusia juga mendapatkan cintanya.

Sebagai remaja dan manusia biasa, dilema moral yang dihadapi oleh Peter Parker ini sebenarnya rumit, karena ia harus mempertaruhkan dua hal yakni, jiwa manusia dan hatinya. Akan tetapi, ia tak serta-merta mengedepankan nafsu dan egonya untuk memiliki gadis itu, namun, ia justru lebih mementingkan keselamatan banyak orang.

Teknologi Versus Naluri

Film-film Hollywood yang diangkat dari Marvel Comics, tak pernah terlepas dari kecanggihan-kecanggihan teknologi. Tak terkecuali film Spiderman Far From Home ini, memunculkan teknologi baru yaitu adanya drone yang digunakan untuk menyerang Spiderman atau Peter Parker dan teknologi EDITH berwujud kacamata miliki Tony Stark.

Teknologi EDITH milik Tony Stark, merupakan alat yang diberikan Nick Fuery (Samuel L. Jackson) kepada Parker untuk menyelamatkan kemanusiaan. Akan tetapi, setelah EDITH diserahkan Parker kepada Mysterio atau Quentin Beck (Jake Gyllenhaal), EDITH disalahgunakan. Justru bukan untuk misi kemanusiaan, melainkan karena eksistensialisme.

Mysterio merasa tersaingi oleh Parker, seorang remaja yang baru berusia enam belas tahun. Beck bersama timnya, mengendalikan dan mnegoperasikan kacamata EDITH sebagai alat untuk mengalahkan Spiderman.

Beck, bersama dengan timnya, mengendalikan dan mengontrol ribuan drone dan membuat Elemental-elemental ilusi untuk mengelabui dan mengalahkan Spiderman. Drone-drone ini dikendalikan oleh EDITH atas permintaan Beck. Apa yang Beck instruksikan ke EDITH, maka EDITH akan menjalankan tanpa menimbang-nimbang. Hal itu dikarenakan EDITH hanyalah sebuah sistem.

Sementara tim Beck menciptakan ilusi-ilusi: petir, angin topan, Elemental, hingga Mysterio buatan, untuk menjebak Spiderman, Beck mengerahkan ribuan drone untuk membuat Spiderman kelimpungan.

Spiderman melawan ilusi-ilusi yang diciptakan dari teknologi dan pemikiran manusia hanya dengan "naluri spyder-nya”. Sempat terjebak ke dalam ilusi yang dibuat oleh Beck, namun dengan nalurinya itu, ia mampu waspada dan memiliki insting yang lebih kuat. Sehingga ilusi-ilusi itu mampu ia taklukkan. Drone-drone yang menyerang pun ia lawan dengan tenaga sendirinya melalui naluri itu.

Tak hanya sampai disitu, ketika Beck hampir tidak bisa berkutik, Beck masih bisa menciptakan ilusi yakni dirinya sendiri untuk mengecoh Spiderman bahwa Beck sangat menyesali perbuatannya. Dengan naluri yang dimiliki Spiderman, ia tak terkecoh dengan muslihat Beck ini. Spiderman tahu bahwa itu Beck palsu.

Akan tetapi, Spiderman mampu menghalau kecohan tersebut dan mampu merebut kembali kacamata EDITH. EDITH kemudian berada di bawah kendali Spiderman.

Bisa dikatakan bahwa teknologi tanpa pikiran dan kendali manusia, ia tidak bisa digunakan dan tidak dapat bekerja. Teknologi secanggih apapun hanyalah ciptaan manusia saja. Akan tetapi, naluri atau insting merupakan sisi lain yang ada di dalam diri manusia selain akal pikiran.

Selain itu, teknologi yang pada dasarnya adalah buatan manusia, ia tidak bisa mengalahkan pikiran dan logika manusia itu sendiri. Hal ini tersirat dalam percakapan antara Mysterio dengan Spiderman. Saat sedang menyerang Elemental air, Mysterio berkata kepada Spiderman bahwa air yang berasal dari laut, maka ia harus dijauhkan dari kanalnya. Ketika mereka akan berhadapan dengan Elemental api, Mysterio berpesan jangan dekatkan api dengan logam. Di sini bisa dikatakan bahwa yang bersifat dari alam tidak bisa di lawan dengan teknologi, namun juga dari alam pula.

Ilusi di dalam Sebuah Ilusi

Kedua teknologi tersebut sama-sama menghadirkan adanya sebuah ilusi. Seperti yang sudah diketahui bahwa film, dengan medium audio-visualnya, tidak bisa terlepas dari adanya ilusi. Hal tersebut karena untuk menciptakan adanya kesan gambar tiga dimensi. Namun, bagaimanakah jika medium yang sudah bersifat ilusi di dalamnya terdapat ilusi lagi?

Perbedaannya, jika pembuat film menciptakan ilusi karena ingin menghadirkan adanya kesan gambar tiga dimensi, sedangkan ilusi yang diciptakan di dalam naratif cerita ialah untuk mewujudkan konflik di dalam cerita, sebagai ketegangan cerita, dan untuk menciptakan imajinasi-imajinasi dalam pikiran penonton.

Ilusi yang berada di naratif cerita, sesungguhnya begitu menarik. Pertama, karena keberadaanya benar-benar dinamakan sebagai ilusi. Kedua, kerana ilusi tersebut digerakkan oleh karakter-karakter dengan bantuan teknologi. Dan yang terakhir, ilusi tersebut dapat mengecoh penonton bahwa apa yang dialami atau dihadapi oleh Spiderman benar-benar nyata, bukan sebuah tipuan.

Cerpen

Kado Pernikahan yang Sesungguhnya

Oleh Kanya Ahayu Ning Yatika Akasawakya (alias Nurbaiti Fitriyani)

(Kompas.id, 13 Maret 2021--https://www.kompas.id/baca/cerpen-hiburan/2021/03/13/kado-pernikahan-yang-sesungguhnya/)

Untuk menyiapkan hidangan kesukaannya, sudah sejak subuh saya berkutat dengan peralatan masak—wajan, panci, dandang, dan lainnya. Setelah dua bulan ditinggal pergi ke perantauan, akhirnya ia memberi kabar bahwa akan pulang dengan membawa buah tangan yang bisa menemani hari-hari saya. Kejutan buat saya, katanya sewaktu menelepon semalam hingga membuat pikiran saya kian terngiang-ngiang. Sungguh, rasa bahagia begitu menyesakkan dada saya mendengar itu semua.

”Kepulanganmu saja sudah membuatku terkejut, Mas,” ucap saya di telepon ingin tahu hadiah apa yang akan saya terima nanti. Namun, ia tetap merahasiakannya.

”Ya, sudah. Aku tunggu kedatangan dan hadiahmu di rumah, Mas. Hati-hatilah.”

Itulah kalimat penutup saya yang tak dihiraukan olehnya. Ia tampak begitu sibuk karena terkupingkan di telinga saya suara gedebak-gedebuk beberapa kali. Dan suara itu pulalah yang terakhir saya terima sebelum akhirnya ia tiba di rumah.

Semasih belum ia pergi ke perantauan, malamnya kami sempat bertengakar hebat. Dan sayalah yang ia jadikan sebagai musababnya. Selama hampir tujuh tahun pernikahan kami, saya belum bisa memberinya seorang buah hati. Apalagi sejak setelah berjalan dua tahun, ia selalu dan terus menuntut saya untuk bisa hamil. Sempat pula ia mengancam, bahwa jika saya tidak bisa mempersembahkan anak untuknya, ia akan mencari perempuan lain yang bisa seutuhnya melengkapi hidupnya.

Lima tahun lalu itu, saya mengusulkan untuk mengadopsi anak saja. Dan tepat ketika itu, kedua bayi kembar yang baru dilahirkan kakak sepupu saya membutuhkan seseroang yang bisa mengasuhnya. Bayi kembar itu ditinggal pergi selamanya oleh ibu mereka setelah mereka berhasil menghirup udara dunia. Akan tetapi, saran saya ini ia tolak. Ia masih bersikeras untuk memiliki anak dari rahim saya sendiri.

Apa hendak saya buat. Segala usaha sudah saya jalani, baik dari segi medis maupun alternatif. Namun, tetap tiada satu benih pun yang mau singgah di dalam rahim saya. Sampai pada titik terjenuh dan di puncak penantiannya, ia megatakan bahwa saya ialah perempuan bagai tanah yang kering, gersang, dan tak berpenghidupan. Dan, kata-katanya itu pun berhasil menyemai luka di hati saya, bahkan sampai detik ini. Kendatipun demikian, saya tak gentar untuk tetap berada di sampingnya walau perlakuannya kadangkala mengiris batin saya.

Sejak saat itu pula, saya tahu, maksud saya bukan hanya tahu, tetapi juga menyadari, bahwa saya hanyalah seorang perempuan yang tidak memiliki kuasa apapun. Selepas insiden itu pula, saya hanya ia anggap sebagai serpihan-serpihan debu seperti yang menempel di sepatunya. Canda, tawa, tukar gagasan, tangis, marah, dan remah-remah kehidupan sepasangan suami-istri sirna sudah. Hari-hari saya pun bergulir dengan penuh kehampaan dan kegetiran.

Dan, mulai dari percekcokan lima tahun silam hingga puncaknya dua bulan yang lalu sebelum ia pergi ke perantauan itu, ia jarang sekali duduk manis di rumah untuk sekadar menyapa atau apalagi bercengkerama dengan saya. Ah, seandainya itu terjadi, pasti mampu meluluhkan hati saya. Namun, hanyalah angan-angan yang terurai jelas di depan pelupuk mata ini.

Sebangunnya di pagi hari, meskipun sarapan telah terhidangkan untuknya, tetapi tanpa mengisi perut terlebih dahulu, ia langsung pergi ke sawah untuk menyapa anak-anaknya—cabai merah, tomat, kacang panjang, dan terong ungu. Hanyalah seteguk kopi hitam yang biasa membasahi tenggorokannya sebelum ia ke luar rumah.

Sampai pada waktunya, tertangkaplah desas-desus di telinga saya, bahwa ia sering ke warung kopi Zubaedah—janda muda anak satu yang ditinggal mati suaminya karena tabrakan antar truk yang salah satunya ia kemudikan. Warung milik Zubaedah itu memang berada persis di sebelah barat sawah yang ia garap. Persisnya lagi, berada di desa sebelah. Dengan demikian, sekiranya maklum apabila saya tak melihat sendiri secara langsung kejadian itu.

Tak terpungkiri, bahwa warung kopi Zubaedah banyak digandrungi selain oleh laki-laki juga perempuan yang tak jarang mampir ke warungnya. Katanya kopi hitam dan gorengan buatannya enak. Lagi pula harganya pun murah. Gorengan satu lima ratus perak dan secangkir kopi hitam siap seduh hanya dua ribu lima ratus.

Akan tetapi, yang membuat telinga saya bertambah merah ialah bahwa saya telah dicap sebagai seroang istri yang tidak mampu membuat suaminya kerasan di rumah sendiri. Meski saya tak menangkapnya sendiri, hati perempuan—utamanya istri—manakah yang tak tergores jika mendengar ucapan seperti itu.

”Sar, aku mau ngomong sama kamu, tapi kamu jangan sakit hati, ya,” kata Bu Yuyun ketika saya sedang belanja di warungnya. Saya hanya mengangguk, lantas ia pun meneruskan. ”Aku denger banyak orang lagi ngomongin dirimu. Apalagi warga sebelah. Mereka bilang kalau kamu tak bisa menjaga dan mengurus Husin dengan baik.”

Saya terus menyimak dengan wajah yang saya setel seserius mungkin untuk menutupi kobaran api di hati saya. Dan, Bu Yuyun pun masih tampak asik dengan perbincangannya ini, sehingga ia tak lekas menyudahinya.

”Kamu tahu sendiri kan, Sar? Siang, sore, malam, Husin, suamimu itu, selalu ke tempat Zubaedah. Bukannya aku kenapa-kenapa, sebagai tetanggamu aku perlu mengingatkan bahwa Zubaedah itu seorang janda. Lagi pula dia juga masih muda.”

”Iya, Bu, terimakasih atas perhatiannya.”

Selepas menyerahkan uang kepadanya pun, tanpa berbicara apapun lagi, saya langsung pamit.

Untung saja, desau-desau itu lekas hilang bertaburan terbawa angin. Pun tiada kicauan-kicauan tak enak hati lagi yang harus saya terima dengan dada sesak. Dan yang terpenting ialah sudah tiada lagi orang yang membicarakan kemelut rumahtangga saya ini.


Satu persatu hidangan mulai saya siapkan di meja makan. Ada ikan gurame goreng bersama lalapan—irisan mentimun, daun kemangi, kol mentah dan goreng, juga tak lupa ditemani sambal terasi. Dan yang tak boleh ketinggalan ialah nasi uduk yang nantinya ditaburi dengan bawang goreng yang banyak. Itu semua salah satu makanan yang paling sukai.

Saya teringat betul waktu malam perjodohan. Di meja makan, ibunya mengatakan bahwa Mas Husin suka sekali dengan ikan gurame, apapun jenis olahannya. Sejak itu pun saya catat sungguh-sungguh yang disampaikan oleh ibu mertua saya itu. Hari ketiga setelah sah menjadi istrinya, saya mencoba mengeksekusi petuah ibu Mas hasan. Benar-benar mujarab, saat itu ia makan begitu lahapnya, bahkan sampai tiga kali menambah nasi. Menyaksikan ia begitu lahapnya, perut saya pun serasa sudah penuh sendiri.

Oleh karena perjodohan itu pulalah saya masih kuat berdiri mendampinginya. Selain itu, ia pun tak pernah mengeluarkan kata talak dari mulutnya walau segenting apapun percekcokan yang sedang mendera kami. Pun ia masih dan tetap menjamah tubuh saya walau ia tahu saya belum bisa memenuhi keinginannya.

Tidak setiap hari saya menyiapkan menu seperti itu, bahkan bisa dihitung jari. Dan ini untuk pertama kalinya setelah sekian lama saya tak menyuguhkan makanan kesukaannya. Ah, saya sudah tidak sabar menunggunya sampai di rumah dengan oleh-oleh yang katanya bisa menjadi teman saya. Ia akan sampai rumah siang atau paling telat sore, sudah sampai rumah.

Sembari menunggu kepulangannya, saya pun membersihkan badan yang seharian berkutat dengan dapur ini. wajah saya bahkan barangkali lusuh dan kusam oleh minyak yang semakin menebal. Selepas membersihkan tubuh, saya pun mengenakan pakaian yang dulu saya kenakan waktu malam perjodohan itu, baju renda-renda berwarna putih dengan motif bunga-bunga dan rok hitam berwiru.

Bukan hanya Mas Husin yang bisa memberi kejutan, saya pun demikian. Dengan dandan sederhana—menyapukan bedak tipis-tipis dan meronakan bibir dengan warna merah marun, dan berbusana seperti ini, saya harap bisa menjadi pelepas kepenatannya selama di perjalanan.

Waktu sudah berlalu sekitar enam jam sejak kesibukan saya di dapur tadi. Namun, kabar terakhir yang saya terima ialah tidak berubah, yakni dini hari tadi waktu ia memberitahu bahwa akan sampai rumah siang ini. barangkali ia akan tiba setelah waktu tengah hari berlalu. Kendatipun saya mencoba untuk menenangkan diri, tetap saja kerisauan terus berkecamuk dalam diri saya. Telapak tangan dan kaki saya bahkan sampai mengeluarkan keringat dingin.

Ketaktenteraman yang sedang saya hadapi ini pun pada akhirnya menjadikan saya mondar-mandir tak keruan jelasnya. Sedari tadi menungguinya di meja makan, sekarang saya pindah ke sofa depan televisi. Masih tak tenang, saya menyalakan televisi untuk mengusir kecemasan ini. Namun, ketika televisi sudah hidup, suara di dalamnya justru berdenging seperti lebah yang memekakkan telinga.

Saya matikan televisi lantas beralih ke ruang tamu. Terbengong-bengong, saya duduk di ruang tamu ini menanti kedatangannya. Sesekali saya juga melirik jam yang menempel di dinding. Sudah lepas tengah hari rupanya. Oleh sebab saya tak sabar melihat kemunculannya, saya berpindah ke teras. Namun, baru saja saya keluar pintu, matahari yang sedikit condong ke barat menerpa teras rumah.

Dengan membiarkan pintu tetap terbuka, saya pun kembali duduk di ruang tamu. ”Tik, tik” detik jam kian menghantam kegundahan hati saya. Namun, bersamaan dengan itu remang-remang kudengar suara seorang laki-laki mengucap salam.

”Waalaikum salam,” balas saya seraya menuju pintu menyambut suara itu.

Seorang lelaki yang sedang berada di hadapan saya ialah orang yang kunanati seharian dengan penuh kegelisahan. Namun, saya tidak tahu siapa gerangan perempuan yang berada di sebelahnya. Perempuan yang seusia dengan saya dengan balutan busana berwarna senada dengan bibirnya.

”Nensi,” katanya sembari mengulurkan tangannya kepada saya.

”Sari,” jawabku datar dan setengah mematung.

”Masuklah. Aku sudah tak sabar menghirup udara rumah ini,” sela Mas Husin langsung melenggang masuk.

”Sar, sinilah,” ucap Mas Husin menyuruh saya duduk di sampingnya. Lantas ia melanjutkan, ”Karena kau sudah tau namanya, tak perlulah saya perkenalkan kembali. Saya hanya memberitahumu, bahwa inilah hadiah untukmu. Kejutan yang tempo kemarin aku katakan padamu. Aku tidak berdusta kepadamu, bahwa ia akan menjadi temanmu.”

Inilah kejutan yang sesungguhnya bagi saya. Saya benar-benar terkejut atas hadiahnya, bahkan sampai tak sepatah katapun yang mampu lolos dari mulut saya untuk menjawab atau apalagi memprotesnya. Bubar sudah angan-angan indah yang berpendar-pendar di kepala saya. Dan hidangan yang telah kupersiapkan untuk menyambut kedatangannya bagai sia-sia belaka.

Rumah untuk Istriku

Oleh Kanya Ahayu Ning Yatika Akasawakya (alias Nurbaiti Fitriyani)

(Kompas.id, 15 Oktober 2020--https://www.kompas.id/baca/bebas-akses/2020/10/15/rumah-untuk-istriku/)

Tanah yang ditanami temulawak dan kunyit ini adalah milik kita sebulan yang lalu setelah menerima kwitansi tanda lunas dari pemiliknya. Setiap hari kau menyisihkan uangmu dari hasil melinting tembakau untuk mencicil tanah ini. Namun, kau tak menepati janjimu kepadaku. Kau lebih dulu pergi sebelum di atas tanah ini berdiri bangunan yang kokoh seperti yang kau idamkan.

Tiga tahun yang lalu, tepatnya ketika kau baru saja melahirkan anak pertama kita, kau bilang kepadaku ingin memiliki rumah sendiri. Sederhana saja katamu waktu itu. Ketika kau mengatakan itu, aku baru memiliki sedikit tabungan yang memang aku khususkan untuk membeli tanah dan membangun rumah buat keluarga kita. Dan di saat tanah ini telah menjadi hak kita sepenuhnya, justru kau meninggalkan kami, tepatnya seminggu yang lalu.

Sebetulnya tanah ini tidak dijual oleh Lek Min, pemilik tanah. Katanya, selain merupakan tanah warisan dari orangtuanya, dia juga berniat untuk menanam pohon pisang di tanah ini. Kata Lek Min, tanah seluas tiga perempat hektare ini dibagi berdua: yang sebelah selatan ini untuk Lek Min, dan yang utara sana untuk kakak perempuannya.

Kau merengek meminta tanah yang seharusnya tidak dijual itu kepada Lek Min. Barangkali karena kau keponakannya, tanah ini akhirnya bisa kita miliki. Itupun tidak seluruhnya kita beli, karena tanahnya begitu luas. Dan, kita hanya bisa membelinya seperempat dari bagian Lek Min.

Letaknya memang sama sekali tidak strategis. Akan tetapi tujuan kita bukan itu. Kita hanya ingin mendirikan rumah sendiri, karena selain kita menambah beban orangtua, juga tak ada tempat lagi di rumah ibu jika kita terus ikut tinggal dengannya.

Anak ibu yang memiliki rumah sendiri baru dua orang, kakak pertamamu dan adikmu. Sementara itu, kakak keduamu masih bersama ibu, begitu juga kau dan kedua adikmu yang lain. Dan apalagi, cucu ibu semakin bertambah. Ibu memang tampak bahagia karena dikelilingi anak dan cucu-cucunya, tetapi barangkali ibu akan jauh lebih bahagia jikalau anak-anaknya mampu berdiri sendiri.

Tanah ini letaknya di dekat rumah ibu. Bedanya rumah ibu ada di atas sana, di dataran tinggi, sedangkan tanah yang kita miliki ini ada di bawah, dekat dengan sungai. Semua itu atas kemauanmu. Kau tak mau tinggal jauh dari ibumu. Itu terbukti ketika aku mengajakmu untuk pulang ke rumah ibuku yang harus menyeberang pulau terlebih dahulu, kau tampak keberatan. Akan tetapi atas hormatmu kepadaku, kau tak menolak, itupun hanya dua hari.

”Jangan lama-lama, ya Mas,” katamu setiap kali aku ajak pulang ke rumah ibuku.

Kini, kepergianmu membuatku kehilangan gairah untuk menambah tabungan kita, karena biasanya kita isi berdua semampu kita. Namun, Hanum, anak perempuan kita cukup bisa menjadi pelipur lara. Setiap kali aku melihat wajahnya, aku selalu teringat akan dirimu. Hidungnya yang tidak terlalu mancung, kulitnya yang putih, bibirnya yang tipis, semuanya milikmu. Hanya rambutnya saja yang mirip denganku. Rambutmu hitam lurus, sedangkan milik Hanum agak bergelombang.

Dulu waktu Hanum baru lahir, kau bilang kalau ia mirip denganku. Namun, semakin ia tumbuh, justru ia semakin menyerupaimu. Ah, barangkali aku saja yang terlalu merindukanmu. Di tanah ini, kau tahu, aku membayangkan ada rumah sederhana, dan kita duduk sambil bercanda di teras rumah.

”Nanti kalau membangun rumah, aku ingin di depan ada tamannya,” katamu sebulan yang lalu ketika kita baru selesai melunasi tanahnya.

”Aku ingin berwarna putih saja,” celetukku sambil membayangkan rumah kita nanti. Dan barangkali benar-benar hanya tinggal bayangan saja, tapi bisa juga tidak.

Aku akan tetap membangun rumah impianmu di tanah ini. Namun, bukan sekarang. Seminggu yang lalu adalah waktu yang begitu lambat kulalui karena tiada dirimu. Di sini aku selalu berharap dan merasakan hadirnya dirimu menyertai aku dan anak perempuan kita.

”Hanum terus mencarimu,” kataku lirih sambil memandang Hanum yang masih belum mengerti akan kepergianmu.

Kau tahu, seminggu yang lalu adalah hal yang tidak ingin aku temui lagi di dalam hidupku. Waktu itu kau sedang merebus air dengan kayu bakar di belakang rumah, sedangkan aku sedang menyelesaikan pekerjaanku mengukir pintu di depan rumah. Berjalan tertatih-tatih kau menghampiriku dan membuatku terkinjat seketika. Aku melemparkan alat ukirku begitu saja dan langsung menghampirimu dengan napas yang kembang-kempis.

Aku pun langsung memanggil Kang Kardi untuk mengantarkan kita ke rumah sakit. Dengan sepeda motor miliknya, kita diboncengnya. Sementara itu, di belakang kita ada ibu dan Hanum yang menyusul, juga menggunakan sepeda motor. Selama di perjalanan kau terus memegang erat tanganku. Begitu dingin dan basah.

Tiba di rumah sakit kau langsung disambut perawat dan langsung dimasukkan ke dalam ruang gawat darurat. Begitulah yang tertulis di pintu ruangannya. Di depan ruang itu, aku ketar-ketir menunggumu. Sejak sepeninggal ayahmu, aku tahu kau tidak pernah masuk ke rumahsakit lagi karena sakit paru-paru. Dan bahkan kau tak pernah mengeluh lagi akan sakitmu. Paling banter hanya flu dan batuk itupun tiga hari kemudian pulih kembali.

”Bapak, ibu di mana?” ucap Hanum mengejutkanku. Ia tiba di rumahsakit tatkala kau sudah di masukkan ke dalam ruang gawat darurat. Aku pun menunjukkan keberadaanmu sembari membimbing dia untuk berdoa atas keselamatanmu.

”Kamu yang tegar,” ucap Ibu sembari mengusap bahuku dan sesekali melirik ke Hanum. Aku mengerti bahwa ada Hanum yang masih belum mengerti. Ia hanya tahu kalau ibunya sakit, bahkan di saat seperti itu dia masih minta mainan yang di jual pedagang kaki lima di depan rumah sakit.

Bersama ibu, dia diajak keliling-keliling. Padahal aku tahu ibu tak kalah khawatirnya denganku. Dari raut mukanya sangat terlihat kalau ia sangat mencemaskanmu.

Dari kaca pintu ruangan, aku mengintipmu. Tidak begitu jelas. Namun, aku tahu bahwa napasmu masih kembang kempis meskipun selang sudah terpasang di kedua lubang hidungmu.

”Seandainya bisa napasku untukmu,” batinku ketika mengintip dirimu.

”Pa, aku punya ini,” Hanum mengejutkanku dengan disodori mainan. Anak kita memang perempuan, tetapi ia gemar sekali dengan mainan robot, mobil, bahkan di rumah ibu begitu banyak truk mainan dari berbahan plastik sampai kayu.

”Truk ini buat memuat tanah yang dikeruk di samping rumah kita.”

”Kalau truk ini tidak muat, sayang. Truknya harus besar.”

”Yah, berarti nanti tanah-tanahnya dimuat dengan truknya om-om yang naiknya ngebut,” ucapnya meninggalkanku dan menghampiri neneknya lagi.

Di desa kami memang ada galian tanah. Hanum senang sekali melihat truk-truk dan kendaraan berat untuk mengeruk tanah. Namun, ia tak suka kalau truk-truk itu ugal-ugalan. Katanya matanya sering kemasukan debu dan terkadang debu itu membuatnya batuk.

Tak beberapa lama kemudian, seorang dokter keluar. Ia mengatakan kalau kau membutuhkan darah. Tiada yang golongan darahnya sama. Hanya Hanum dan dia tidak bisa menyalurkan darahnya untukmu karena usianya belum memenuhi.

Dibantu Kang Kardi, akhirnya aku menemukan orang yang golongan darahnya sama denganmu. Adalah Lek Min yang bersedia menolong kita. Ia segera dicek oleh perawat. Namun, kita tak beruntung, tekanan darah Lek Min kurang sehingga ia tak diperbolehkan mendonorkan darahnya. Ingin rasanya aku berteriak ketika itu. Keadaanmu di dalam semakin kritis dan tak keruan. Kau mengeluarkan banyak darah dibatukmu kata seorang perawat.

Kau tahu, ketika itu ibu sudah menangis di kursi tunggu. Hanum yang sedari tadi bersama neneknya juga ikut menangis. Sementara Kang Kardi menenangkan mereka berdua, aku mencarikan darah yang cocok untukmu. Namun, ketika aku hendak berangkat, dokter yang ada di dalam ruanganmu keluar memanggilku.

”Kami minta maaf,” katanya sambil menepuk bahuku.


Berdiri dari sini dan meninggalkanmu sendiri adalah hal terberat yang kualami. Di rumah ini kau tak lagi perlu merasakan sesak di dadamu atau apalagi batuk yang mengeluarkan darah.

”Pa, kenapa papa bilang kalau ini rumah ibu padahal bentuknya tidak seperti rumah nenek yang ada atap dan jendelanya. Ini hanya urukan tanah,” ucap Hanum di samping rumahmu.

”Ibu ada di sini selamanya,”

Dia tampak bingung ketika aku berkata seperti itu. Akan tetapi suatu hari nanti kalau dia sudah cukup mengerti pasti akan aku jelaskan tentang dirimu. Dirimu yang terjelma di dalam dirinya. Kini dia mengikutiku menyirami tanaman yang ada di sekeliling rumahmu. Setelahnya aku menaburkan bunga—mawar, melati, bunga kantil, yang juga diikuti Hanum.

Sebelum aku dan Hanum meninggalkanmu, dia mengatakan kalau kau baik-baik di rumahmu. Dia juga berpesan agar kau tidak tersiksa di rumahmu yang seperti ini. Aku pun berharap demikian, selalu.

Di tanah ini, nanti akan aku kunjungi dirimu setiap hari. Akan aku taburkan wewangian bunga di rumahmu yang akan kau tempati selamanya. Kelak aku akan menemanimu di sini bersama Hanum. Di tanah yang kita beli dengan keringat kita sendiri.

Ada Luka di Kaki Ibu

Oleh Kanya Ahayu Ning Yatika Akasawakya (alias Nurbaiti Fitriyani)

(Beritajatim.com, 31 Januari 2021--https://sastra.beritajatim.com/ada-luka-di-kaki-ibu/)

Dua tahun silam, kaki Ibu terkena serpihan beling yang dijatuhkannya ketika sedang mencuci piring. Jari kaki ibu terluka. Saya masih ingat betul ketika Bapak mencabut serpihan beling di kakinya lantas membersihkannya dengan air hangat, diberi antiseptik, dan lalu diperban.

Setelah insiden itu, hari demi hari Ibu selalu mengeluh kalau pundaknya pegal-pegal dan terutama kakinya sangat ngilu. Bapak mengira bahwa yang dirasakan Ibu tersebut akibat infeksi di kakinya. Bapak lantas memeriksakan Ibu ke dokter. Dokter pun menyarankan supaya Ibu menjalani perawatan untuk mengetahui muasal yang menjadikan seluruh badannya sakit.

Kendati wara-wiri ke rumahsakit adalah hal biasa, saya agak sedikit lega. Semalam Ibu baru keluar dari rumahsakit. Dokter akhirnya memperbolehkan Ibu untuk dirawat di rumah setelah satu minggu lebih dua hari ia terbaring lemah dengan selang infus.

Pagi ini, ia masih di atas kasur. Badannya lunglai dan tak bertenaga. Kendatipun demikian, meski harus kehilangan dua jari kakinya, Ibu sudah tampak rela. Dua puluh tujuh bulan berjalan, Ibu sudah menjalani perawatan rutin sakitnya.

Ibu juga telah melakukan anjuran yang dokter berikan. Ia tak boleh mengonsumsi makanan yang mengandung gula berlebih. Pula harus mengontrol ketika sedang makan nasi putih. Semenjak itu, porsi makan Ibu berkurang. Biasanya satu piring penuh terkadang masih kurang, setelah tahu penyakit itu ia hanya makan satu pucuk centong nasi. Rutinitas minum teh manis setiap pagi dan sore juga hilang. Ia hanya minum air putih saja, kendati terkadang ia masih minum teh. Itupun jika hanya untuk menghangatkan badannya.

Ibu jarang sekali mengeluh. Hanya jika terlalu tak tahan merasakan sakit saja ia bercerita kepada Bapak dan dua anaknya—saya dan adik lanang saya. Manakala seperti itu, kami tak tega melihatnya dan tentu sangat risau akan kesehatannya. Apalagi Bapak yang setiap hari sebelum Ibu sakit harus serba diurus Ibu kecuali pekerjaannya sendiri. Semenjak itu pula, Bapak selalu murung walau di depan anak-anaknya dibuat tampak tak terjadi apa-apa.

Akhirnya, dari keadaan seperti itu, kini bapak menjadi mandiri. Tak jarang pula ia bahkan yang menyiapkan makanan untuk Ibu dan anak-anaknya meski hanya tempe goreng dan sambal terasi. Bukan sekadar hal itu, Bapak jugalah yang membersihkan rumah kalau anak-anaknya bekerja. Dan, sekarang pun Bapak yang harus mengurus Ibu sendiri, karena anak lanangnya merantau ke Jakarta, sedangkan anak perempuannya bekerja mulai pagi dan pulang ketika sudah gelap.

Kian hari tubuh Ibu kian menyusut. Padahal dulu, sebelum dua tahun lebih tiga bulan ini, berat badannya mencapai tujuh puluh kilogram. Baju-baju Ibu pun tampak kedodoran semua. Dan sejak ia tahu kalau dirinya sakit, bahkm ia tak pernah dandan lagi. Kulitnya yang putih tampak terlihat pucat sekali. Namun, bukan itu yang membuatnya terkesan di mata orang-orang. Adalah suara Ibu, yang dirindukan semua orang.

Ibu memiliki suara merdu sekali. Jika diadakan acara berselawat di musala depan rumah, Ibulah yang melantunkannya. Namun, seperti sekarang, Ibu hanya mendengar selawat itu dari rumah. Ia terbujur di atas kasur ditemani Bapak yang kebetulan tidak berangkat kerja atau pergi ke sawah. Saya pun ikut serta karena sedang ambil cuti.

Kendatipun pengharum ruangan telah terpasang di atas pintu kamar, tetapi aroma kamar ibu masih seperti berada di rumahsakit. Barangkali karena obat Ibu yang terlalu menumpuk di meja di dekat kasur tempatnya berbaring, baik obat dari dokter maupun obat herbal.

”Ibu pindah kamar saja, Pak. Tak tahan baunya” katanya dengan suara yang sangat lirih. ”Iya, nanti kita pindah ke kamar sebelah. Ibu harus sehat dan kuat,” jawab Bapak sambil menggenggam tangan Ibu. Ibu hanya membalas dengan anggukan.

Sebentar setelah meminta pindah kamar, Ibu tertidur. Sepertinya itu karena pengaruh obat yang tadi ia telan. Kalau Ibu sudah tidur seperti ini, biasanya ditinggal Bapak untuk menyiapkan makanan buat nanti kalau Ibu bangun.


Ada luka di kaki Ibu, di atas dua jarinya yang telah terpendam di halaman rumah. lukanya kecil, tapi kata Ibu sangat sakit, bahkan rasanya menjalar ke seluruh tubuh. Semalam Ibu sudah pindah ke kamar saya. Ada perasaan khawatir yang kian dalam. Semakin melihat wajahnya, begitu ketakberdayaan melandanya.

Semalam Ibu sudah pindah kamar, tapi ia justru tak bisa tidur karena ada luka di kakinya. Bapak mencoba memeberinya obat anti nyeri dan antibiotik, tetap tak merubah. Ibu masih meronta kesakitan. Siang ini, lukanya bertambah lebar. Padahal pagi tadi masih kecil seperti luka bekas garukan. Namun sekarang, ada nanah dan keluar sedikit darah. Melihat Ibu semakin lemah, kami pun membawanya ke rumahsakit lagi.

Diperjalanan tadi, Ibu tak sadarkan diri. Sudah sejak ketika keluar rumah sebenarnya. Bapak yang membopongnya sendiri masuk ke dalam kendaraan. Ibu tampak begitu ringan di tangan bapak seperti tak ada daging di tubuhnya.

Setelah menunggu Ibu sekian lama di depan ruang gawat darurat, dokter memutuskan agar Ibu kembali dirawat di rumahsakit. Apa boleh buat, kami pun mengikuti prosedur.

Kembali bermalam di rumahsakit ialah hal paling buruk yang tak pernah terduga sebelumnya. Dengan selang di tangannya, Ibu tampak tak merasa sakit lagi. Semalam sewaktu ia mulai merasakan sakit, tak sesuap makanan pun lolos ke mulutnya. Kini ia mulai menelan sesuap demi sesuap bubur yang disediakan rumahsakit.

”Bubur beras merahnya enak. Tapi Ibu jadi seperti bayi,” kata Ibu kepada saya di tengah-tengah mengunyah.

”Yang penting Ibu suka dan mau makan.”

”Ibu terpaksa suka, Mbak. Ibu lapar.”

Begitulah Ibu memanggil. Ia tak pernah memanggil anak-anaknya dengan menyebut nama secara langsung. Ia pernah mengatakan, kalau itu ajaran dari neneknya Ibu. Memanggil namanya secara langsung seperti tidak sopan meski dengan anaknya sendiri.

”Bapak di mana?” tanyanya pada suapan bubur yang terakhir.

”Masih mengurus administrasi.”

”Mbak, kamu kan anak Ibu paling besar, jadi harus bisa jaga Bapak sama adik, ya.”

”Pastilah, Bu. Oh ya, kalau nanti Ibu sudah boleh pulang dari rumahsakit, Ibu ingin apa?”

”Ibu mau dimandikan yang bersih.”

Pasti setelah keluar dari rumahsakit Ibu merasa tubuhnya lengket, bahkan sekarang pun ia pasti sudah merasakannya. Setiap hari tubuhnya tak diguyur air, hanya dilap saja itupun tidak keseluruhan. Seperti kemarin malam waktu pulang dari rumahsakit, Ibu langsung minta untuk direbuskan air panas. Ia langsung mandi padahal udara malam sangat dingin. Ibu sudah tertidur pulas ketika bapak datang. Setelah makan tadi Ibu langsung minum obat. Bapak terlihat sedih sekali. Ia datang ke ruangan Ibu dengan air muka yang murung.

”Bapak tak tega melihat Ibu kesakitan begitu, Mbak,” jawabnya.

”Ibu pasti sembuh.”

Bapak tersenyum sedikit lantas diam dan duduk di dekat Ibu. Saya sendiri juga tak tega dan sangat mencemaskannya. Apalagi kian hari tubuhnya kian habis. Pipinya yang dulu berisi kini mengempis. Di bawah kelopak matanya cekung sekali. Andai saja tiada asupan dari infus, wajah Ibu pasti seputih kapas.


Malam dan pagi sudah kami lalui selama tiga hari di rumahsakit ini. Namun, keadaan Ibu belum juga membaik, bahkan bisa dibilang semakin memburuk. Luka di kakinya kian melebar. Kemarin lusa waktu pertama datang kesini, lukanya kecil itupun terletak di atas dua jarinya yang sudah tiada. Kini luka itu semakin naik ke betis.

Di saat lukanya seperti itu, Ibu justru seperti tak merasakan sakit. Padahal darah dan nanah tak hentinya keluar. Seprei dan selimut harus diganti setiap hari oleh petugas rumahsakit. Namun, yang lebih menyesakkan ialah bukan melihat luka Ibu, melainkan kabar dari dokter tadi pagi bahwa kaki Ibu tidak bisa dibiarkan terus-terusan seperti itu.

Kami tidak menangis di depan Ibu. Bapak hanya menangis di depan saya, itupun hanya setetes air mata.

”Usap air mata kita di depan Ibu, ya, Mbak. Nanti Ibu malah tambah kesakitan,”

Namun, ketika Bapak menyampaikan kabar dari dokter ke Ibu, justru Ibu menolaknya. Ia memilih untuk pulang. Alasannya, ia tak betah berlama-lama di sini. Ia sudah ingin mandi.

Bagaimana Ibu bisa mandi jika kaki Ibu keadaannya seperti ini, ucapku yang tak terlisankan. Membayangkan terkena air saja tidak, apalagi mandi. Akan tetapi, oleh karena Ibu berkeinginan keras untuk pulang, kami tidak bisa memaksa. Dokter pun tak bisa mencegah. Kami pulang siang ini dengan resep obat dari dokter yang tak sedikit.

Anehnya, meski jarum infus tak menusuk di tangan Ibu, ia tampak biasa saja. Seperti tak mengalami apa-apa. Padahal di kakinya nanah dan darah terus keluar. Kami saja yang hanya melihatnya merasa ngilu sendiri.

Sesampainya di rumah, Ibu dilarang bapak untuk jalan sendiri. Bapak membopongnya kembali ke kamar. Namun Ibu tak mau ke kamarnya. Ia ingin istirahat di kamar anak lanangnya yang masih merantau di Jakarta.

”Bau kamar ini masih sama ketika kalian bayi. Seperti bau basah tanah setelah hujan,” kata Ibu setelah dibaringkan Bapak di atas kasur.

”Saya rasa baunya seperti kamar yang lama tak pernah dihuni. Kalau tidak ada kamper baunya mungkin apek.” Ibu pamit istirahat. Kami mengiyakan. Sebelumnya Ibu minta minum air putih baru kemudian ia tidur.


Dengan wewangian bunga—melati, mawar merah, bunga kantil, dan daun pandan, tubuh Ibu mulai terbasahi. Keinginannya pun terpenuhi. Ia ingin dimandikan oleh saya. Ia tampak begitu cantik dan kulitnya bersih sekali.

Sebetulnya, sudah ada yang bertugas memandikan Ibu. Jumlahnya ada 4 orang. Dan kesemuanya adalah perempuan. Akan tetapi mereka takut jika semakin melukai kaki Ibu yang memang sudah luka. Akhirnya sayalah yang memandikan Ibu. Tak tega juga melihat mereka memandikan Ibu yang kakinya masih mengeluarkan nanah dan darah walau hanya sedikit. Barangkali saja mereka juga merasa jijik.

Perlahan saya mengguyur Ibu dari ujung kepala sampai kaki. Memastikan benar-benar basah sempurna. Tatkala sampai di kaki Ibu yang luka, saya usap dan bersihkan nanah dan darah secara pelan-pelan. Ibu sudah benar-benar tak mengeluh lagi meski kakinya yang luka menganga dan berlubang begitu dalam, bahkan hampir terlihat tulangnya.

Ibu wangi oleh bunga-bunga. Sudah tidak bau obat, nanah, maupun darah. Ini terakhir kalinya saya memandikan Ibu setelah dini hari tadi ia tak bangun lagi untuk selamanya. Ini pula menjadi keinginan Ibu yang pungkasan setelah merasakan sakit luka di kaki selama dua tahun lebih tiga bulan.

Ibu sudah tak melihat dan mencium obat lagi. Juga tak lagi merasakn ngilu. Dan yang terpenting Ibu tak kehilangan kaki setelah kehilangan dua jari. Ini menjadi keinginanmu yang terakhir juga, ingat saya di rumahsakit sepekan lalu.

Resensi

Budaya Urban yang Tak Pernah Mati

Oleh Kanya Ahayu Ning Yatika Akasawakya (alias Nurbaiti Fitriyani)

(Biem.co, 28 Juli 2020--https://www.biem.co/read/2020/07/28/61914/budaya-urban-yang-tak-pernah-mati/)

Kehidupan masyarakat urban di tengah perkembangan teknologi mutakhir mempunyai peran sangat besar dalam memengaruhi corak kesusastraan Indonesia. Enam belas cerpen dalam buku kumpulan cerpen Urbanhype berusaha menanggapi wacana urban hari ini.

Kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Surabaya tersebut, ditulis oleh para Pemenang Lomba Cerpen Tingkat Nasional DKS 2019. Dalam buku ini, selain juga terdapat satu Pemenang Utama, terdapat pula lima Pemenang Impresif, dan sekaligus sepuluh Pemenang Favorit.

Resensi Kumpulan Cerita Pendek
Judul Urbanhype
Penulis Novresheila Estu Y, Nashrullah Ali Fauzi, dkk.
Penerbit Dewan Kesenian Surabaya
Terbit Desember 2019
Tebal xii + 195 halaman
ISBN 978-623-7283-41-6

Kategori Pemenang Utama ditempati oleh cerpen Cityscape, karya Novresheila Estu Y. Kehidupan masyarakat urban digambarkan secara detail melalui setiap rangkaian peristiwa yang dialami tokohnya secara filmis. Novresheila, di cerita pendek tersebut, mengungkap sebuah kota, dan tokohnya yang bernama Kino, dalam mana ia bekerja sebagai penjaga arkade tempat bermain game di waktu malam.

Kendati bahasa asing masih berkelindan dalam cerpen ini, misalnya: playlist, power, game, spot, shift, rolling door—tentunya mengurangi nilai bahasa dalam sastra Indonesia, tetapi ia mampu menyampaikan sisi-sisi aktivitas kehidupan masyarakat urban melalui, antara lain: pekerjaan dengan sistem peralihan waktu kerja sebagai penjaga arkade, adanya penggambaran suasana kota secara terperinci di waktu malam. Bahasa penuturannya yang penuh kiasan, serta struktur cerita yang tak kalah apiknya: tak hanya tindakan jasmani yang menakjubkan, akan tetapi juga berkelabat sekian banyak pikiran.

Kategori Pemenang Impresif diduduki oleh lima cerpen: Joe dan Clara, Angin Subuh, Di Bawah Pohon Trembesi, Amin Si Anak Punk, dan Dobol.

Tak ubahnya Cityscape, yang menggunakan latar waktu yang sepenuhnya malam sampai pagi, Angin Subuh, karya Nashrullah Ali Fauzi pun memiliki latar waktu sama, yakni malam, bahkan dini hari sampai subuh.

Penggunaan sudut pandang orang pertama ‘saya’ yang disampaikan oleh dua narator, membuat struktur naratif dalam cerpen Angin Subuh begitu menarik. Cerpen ini menanggapi realitas terhadap seorang ibu yang membuang bayinya, kendati pada akhirnya ia memutuskan untuk kembali mengambilnya. Nashrullah berhasil menciptakan adegan membuang bayi tanpa menyelipkan kata ‘membuang’ dalam cerpen tersebut.

Sebagai tumpuan bahwa Angin Subuh termasuk dalam cerita urban, penulis melatari ceritanya di sebuah taksi, gang kumuh, kedai, jalanan kota, lampu lalu lintas, terminal bus, dan yang lebih krusial ialah aktivitas di malam hari, lebih tepatnya dini hari. Dengan dua tokoh utama, penulis lihai membuat narasi dan dialog secara proposional.

Berbeda dengan Cityscape yang membicarakan kunang-kunang di tengah taman kota, dalam cerpen Joe dan Clara karya Y. Agusta Ahir, kunang-kunang menjadi alat megingat masa kanak-kanak Martono dan Hartini saat bermain di sawah.

Joe dan Clara ialah nama tokoh dalam cerita pendek tersebut. Tiada terduga bahwa nama yang dibebankan penulis kepada tokohnya tidak merepresentasikan identitas gender yang sesungguhnya. Bahwa secara konvensional nama Joe bergender laki-laki, sedangkan Clara perempuan. Namun, di akhir cerita, penulis mengungkap bahwa sebenarnya Joe bernama Hartini dan Clara adalah Martono (hal. 27).

Sebagai penanda bahwa cerita dalam Joe dan Clara berbau urban, penulis memasukkan kemodernan dengan kecanggihan teknologi untuk berbagi lokasi (hal. 24). Selain itu, sebagai fondasi cerita, penulis membuat latar ceritanya di sebuah kafe, di mana menggambarkan suasana kehidupan kota.

Hampir mirip dengan Joe dan Clara, selain menggunakan latar kafe, Di Bawah Pohon Trembesi karya Muhammad Naufal Mahdi, bahkan mengekspos keramaian mal. Penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga yang ditempatkan secara bergantian antartokoh: oposisi rombongan gembel dan pemilik kafe.

Berikutnya, Dobol karya Dewanto Amin Sadono dan cerpen Amin Si Anak Punk karya Rella Mart, keduanya berusaha melambangkan masyarakat urban dengan menginisialisasi menggunakan kata ‘kota’ atau ‘urban’. Meskipun cara melukiskan kehidupan urban dalam cerita Dobol sama seperti Amin Si Anak Punk, yakni sama-sama tidak melulu urban dalam lingkup taman kota yang indah, teknologi mutakhir yang canggih, tetapi masyarakat urban pada Dobol lebih terperinci dengan segala eksperimen absurditasnya.

Sedangkan cerpen Amin Si Anak Punk, lebih menonjolkan kehidupan anak punk, kendati penggambaran kota tidak mendominasi. Dari segi struktur, cerita tampak klise: tiada tanjakan di setiap adegan, suspensi pun tidak ada, hanya ada kejutan di akhir cerita, itupun terkesan mendadak dalam mengakhiri.

Berselancar di Dunia Layar

Selanjutnya ada 10 cerpen dalam kategori Pemenang Favorit yang berjudul: Apartemen Tengah Kota, Etika Merebut Harta Mertua, Go-Kill, Kisah Patah Hati yang Picisan, Nudis Club, Sarapan Pengundang Tangis Dan Tawa, Sebuah Firman Yang Menetas Lantas Menetes Dalam Kepala, Sebuah Usaha Menulis Cerita Pendek, Semester Ini Saka Tetaplah Si Tambun, Transkip Tabu.

Dalam kategori ini, penggambaran masyarakat urban tampak hanya tersampir dalam cerita, tidak menjadi pokok utama. Aktivitas urban dalam cerpen Go-Kill karya Mochamad Nasrullah disampaikan melalui kata ‘tengah kota’ dan ‘klub’, gawai, video iklan go-kill (hal. 105-106). Go-kill yang dijadikan penulis sebagai judul, tidak menjadi subjek utama. Cerita pembunuhan diselingi oleh kisah-kisah silat yang tampak mendominasi, sementara tanda-tanda urban kurang memiliki proporsi sehingga elemen masyarakat urban tampak hanya menjadi pemanis.

Ada pula cerpen yang berupaya membahas aktivitas masyarakat urban dari segala sisi, tetapi cara penyampaian cerita agaknya kurang tepat, tampak hanya memasuk-masukkan ide urban. Hal ini sebagaimana tampak dalam cerpen Apartemen Tengah Kota, karya M Agung Triwijaya. Struktur cerita dalam cerpen ini berbentuk fragmen-fragmen, menceritakan setiap tokoh dalam kamar-kamar sebuah apartemen, sehingga terkesan kehidupan urban satu dengan lainnya tidak memiliki kausalitas. Kendatipun demikian, cerpen Apartemen Tengah Kota secara ide dasarnya bagus, akan tetapi dialog lebih mendominasi tanpa karakterisasi yang kuat di dalam narasi, meskipun ada selingan cerita lain sebagai metafor.

Kehidupan masyarakat urban tak terlepas oleh media sosial. Cerpen Transkip Tabu gubahan Ferry Fansuri, menggunakan sudut pandang orang pertama. Ia menggunakan robot sebagai narator. Bentuk cerita ini menyesuaikan dengan isi, meski pada dasarnya cara bertutur tampak seperti menarasikan status media sosial.

Lain daripada itu, karya Ardi Wina Saputra dengan judul Etika Merebut Harta Mertua, dari segi struktur cerita, memiliki struktur tiga babak, termasuk suspensi dalam setiap paragrafnya dan kejutan di akhir cerita. Kehidupan urban yang terdapat dalam cerpen ini ialah perihal kehidupan seorang perempuan yang gila harta, memiliki komunitas, gemar menyiarkan secara langsung kehidupannya di Instagram, memasukkan unsur permainan ‘mobile legend’.

Masih seputar aplikasi daring (online) yang sedang marak pada masyarakat urban, cerpen karya Dimas Setyawan berjudul Semester Ini Saka Tetaplah Si Tambun, pun memasukkan aplikasi Instagram, Whatsapp, dan Youtube. Lingkup kegiatan masyarakat urban terletak pada kesenangan untuk menggulirkan layar gawai, transaksi jual-beli daring. Secara garis besar, cerita hanya berisi perihal penipuan melalui internet, tetapi penulis pandai untuk mengulur-ulur cerita.

Sebagaimana terdapat dalam cerpen Kisah Patah Hati yang Picisan karya Adhimas Prasetyo, juga mengandung unsur transaksi daring. Kehidupan urban yang diangkat ialah penulisan naskah buku secara daring, sering disebut sebagai ghost writer (hal. 114), yang tentunya memerlukan adanya ponsel pintar. Struktur cerita dalam cerpen ini terasa tawar, tiada suspensi dan kejutan.

Beda transaksi daring yang dikemas oleh B.E Raynangge dalam cerpennya berjudul Sarapan Pengundang Tangis Dan Tawa, di sini penulis mengangkat ojek aplikasi daring sebagai unsur kehidupan urban (hal. 135). Selain itu, penulis juga memasukkan kegiatan membuka status Whatsapp dan Instagram.

Yang paling menarik dari cerpen ini bukanlah perihal pengangkatan unsur urban, tetapi pengemasan ide dan struktur cerita dengan akhir kisah yang terbuka, di mana pembaca memiliki aksesibilitas untuk menemukan kesimpulan cerita. Seperti judulnya, meskipun tidak kentara, tawa dan tangis dalam cerpen ini begitu berkelindan, sehingga cerita tidak terasa hambar.

Melalui penulis yang sama, tetapi berbeda judul, yakni Sebuah Usaha Menulis Cerita Pendek, B.E Raynangge juga mengemas cerpannya ini secara berbeda. Dalam cerpen ini penulis tidak lagi memasukkan unsur urban yang berkaitan dengan ponsel pintar, melainkan lewat adanya blog, komunitas cosplay, menempatkan latar kafe. Perbedaannya pula terletak pada struktur cerita, di mana penulis tidak menggunakan akhir kisah yang terbuka, melainkan tertutup.

Untuk dapat menggambarkan kehidupan urban, bahkan ada pula satu cerita yang menggunakan latar tempat luar negeri, yakni Nudis Club karya Eko Darmoko. Tokoh yang diciptakan harus pergi ke luar demi mencari cintanya. Selain latar tempat, kehidupan urban yang ditonjolkan penulis ialah adanya aktivitas Nudis Club di Munich, Singapura, di mana orang dibebaskan untuk bertelanjang tanpa gangguan. Alih-alih memiliki struktur cerita yang seimbang, justru dipenuh-jejali oleh dialog ketimbang karakterisasi dalam bentuk narasi.

Persoalan urban tidak selamanya digambarkan dengan keindahan kota, keramaian mal, gawai, tetapi dapat berupa isu sosial, seperti pengeboman sebuah gereja. Hal ini tampak Sebuah Firman Yang Menetas Lantas Menetes Dalam Kepala, karya Norilla. latar tempat dalam cerpen ini hanyalah selintas gang-gang sempit, got-got, dan warteg. Sementara itu ideologi yang sangat sensitif dalam cerpen ini, dibalut dengan kiasan-kiasan.

Kumpulan cerpen Urbanhype menjadi tak hanya sekadar cermin atas kehidupan masyarakat urban, tetapi juga berkilandan absurditas teknologi yang terkadang tak terbayangkan di dalam setiap kepala yang hidup hari ini. Persoalannya kemudian, seberapa jauh karya sastra berkemampuan menanggapi geliat budaya urban yang tak pernah mati di tengah pergulatan antarwacana.

Foto Stori

Mbok Yem: Hiruk Pikuk Pekerja Pelabuhan Sunda Kelapa

Oleh Nurbaiti Fitriyani

(Selarakta.xyz, 10 Novemer 2016--https://selarakta.xyz/fotografi/stori/mbok-yem-hiruk-pikuk-pekerja-pelabuhan-sunda-kelapa)

Kolase Pelabuhan Sunda Kelapa (SELARAKTA/NURBAITI FITRIYANI)

Pelabuhan, bukan sekadar lalu-lalang kapal yang membawa wisatawan. Berbagai aktivitas dan kesibukan sudah di mulai sejak matahari terbit hingga tenggelam. Mereka semua hanya memiliki satu tujuan sama, yakni berjuang untuk keberlangsungan hidupnya.

Mbok Yem (56), perempuan berbaju merah, memakai caping, dan berjualan aneka miniuman dan makanan, bukanlah penduduk asli Jakarta. Ia berasal dari Pati, Jawa Tengah. Di masa silam ia adalah seorang buruh pabrik Djambu Bol di Kudus. Oleh sebab pabrik tersebut mengalami pailit akibat tak mampu bersaing dengan perusahaan lain, Mbok Yem memutuskan pergi ke Jakarta.

Semula ia bekerja sebagai asisten rumah tangga. Namun, lambat-laun ia merasa ingin memiliki usaha sendiri. Berbekal tekad yang kuat, ia akhirnya memutuskan untuk berjualan di Pelabuhan Sunda Kelapa. Saban pagi, ia harus menyeberang dengan perahu dari rumahnya di daerah Tanjung Priok menuju pelabuhan.

Ada di mana ia harus berangkat dan harus pulang, karena di waktu-waktu tertentu penjaga pelabuhan akan melakukan patroli. Apabila para pedagang itu ketahuan, para penjaga tak segan untuk menangkap mereka. Mbok Yem dan teman pedagang lainnya, biasanya akan memasuki pelabuhan sekitar pukul 10.00 dan kemudian akan meninggalkannya sekitar pukul 17.00 atau menjelang senja.

“Kalau ada penjaga berkeliling di jam-jam yang tidak pasti, biasanya kita akan berlari,” cerita Mbok Yem dengan wajahnya yang sudah penuh dengan kerutan.

Mereka tidak peduli dagangannya jika ada yang tertinggal. Mereka lebih mementingkan keselamatan agar besok bisa berjualan kembali.

Tidak seperti teman-temannya yang menjajakan dagangannya dengan berkeliling–ada yang berjalan kaki, memakai sepeda motor, dan sepeda ontel–Mbok Yem lebih memilih menunggu pelanggannya datang menghampirinya di belakang sebuah kontainer. Pelabuhan Sunda Kelapa memanglah bukan sebuah kantor atau pabrik, tetapi mereka bisa saja istirahat secara bersamaan. Jika salah satu dari buruh tersebut melihat terdapat temannya sudah ada yang memedang segelas kopi panas, tanpa diberi aba-aba buruh lainnya juga ikut mendatangi para pedagang.

Kendatipun Mbok Yem dan teman pedagang lain tidak berwarung, tetapi dagangan mereka sangat lengkap. Mulai dari minuman hangat, dingin, sampai nasi bungkus beserta lauk pauknya. Dibalik dagangan mereka yang diletakkan di sebuah karung, kardus, atau pun plastik, bukan lain ialah ketika ada patroli mereka lebih mudah untuk menghindar.

Pelabuhan, segala macam aktivitas berkumpul. Keringat yang mengucur menjadi bukti bahwa mereka mampu menantang terik matahari. Senja adalah waktunya peluh-peluh itu luruh dari tubuh untuk kembali menjadi manusia yang kembali utuh.

Tentang Penulis

Nurbaiti Fitriyani a.k.a. Kanya Ahayu Ning Yatika Akasawakya a Nurbaiti Fitriyani, juga dikenal sebagai Kanya Ahayu Ning Yatika Akasawakya, menamatkan sarjana pada Februari 2022 dengan tugas akhir berjudul Rekonsiliasi antara Suara dan Tatapan Perempuan dalam Layar: Telaah Lokus Audiovisual atas Karakter Perempuan Terhadap Film “Rayya: Cahaya di Atas Cahaya” di mayor Kajian Sinema, Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta. Selain meneliti seni film, ia juga menulis cerpen dan esai sastra. Ia dapat dihubungi via pos-el nurbaiti.fitriyani@gmail.com atau ponsel +6285727374619.